Kamis 05 Dec 2019 19:40 WIB

AS Bantah akan Kirim 14 Ribu Pasukan ke Timteng

Pentagon membantah laporan yang menyebut AS akan kirim 14 ribu tentara ke Timteng

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Pentagon membantah laporan yang menyebut AS akan kirim 14 ribu tentara ke Timteng. Ilustrasi.
Foto: VOA
Pentagon membantah laporan yang menyebut AS akan kirim 14 ribu tentara ke Timteng. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pentagon telah membantah laporan yang menyebut Amerika Serikat (AS) sedang mempertimbangkan keputusan untuk mengirim 14 ribu tentara ke Timur Tengah dalam rangka menghadapi ancaman dari Iran. Hal itu pertama kali diberitakan Wall Street Journal.

"Yang jelas laporan itu salah. AS tidak mempertimbangkan untuk mengirim 14 ribu tentara tambahan ke Timur Tengah," ujar juru bicara Pentagon Alyssa Farah melalui akun Twitter pribadinya pada Kamis (5/12) dikutip laman Aljazirah.

Baca Juga

Pada Rabu (4/12) lalu, Wall Street Journal melaporkan ada kemungkinan AS megerahkan lebih banyak kapal dan menggandakan jumlah pasukannya di Timur Tengah. Informasi tersebut mereka peroleh dengan mengutip beberapa sumber pejabat AS yang tak dipublikasikan identitasnya.

Menurut Wall Street Journal, Presiden AS Donald Trump dapat membuat keputusan tentang peningkatan jumlah pasukan tersebut pada awal bulan ini. Baru-baru ini pejabat senior Pentagon John Rood mengungkapkan ada indikasi Iran melakukan tindakan agresif di masa mendatang. "Kami terus melihat indikasi dan untuk alasan yang jelas saya tidak akan merinci, bahwa potensi agresi Iran dapat terjadi," ujarnya.

Rood tak menyebut tentang informasi apa yang mendasari hal tersebut, termasuk kemungkinan Iran melakukan agresi. "Kami telah mengirim sinyal yang sangat jelas kepada pemerintah Iran tentang konsekuensi potensial dari serangan," ucapnya.

Hubungan AS dan Iran memang masih dibekap ketegangan. Washington telah menuding Teheran sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan terhadap sejumlah kapal tanker di Selat Hormuz beberapa bulan lalu.

AS juga menuding Iran bertanggung jawab atas serangan terhadap fasilitas perusahaan minyak Arab Saudi, Saudi Aramco. Semua tudingan AS telah dibantah oleh Iran. Iran bahkan menantang AS untuk membuktikan tuduhan-tuduhan yang dilayangkan padanya.

Kedua negara juga bersitegang dalam persoalan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Pada Rabu lalu, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan negaranya siap kembali kembali ke meja perundingan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun sebelumnya, AS harus terlebih dulu mencabut sanksi ekonomi terhadap Teheran.

Trump memutuskan menarik negaranya dari JCPOA pada Mei 2018. Dia menilai kesepakatan itu cacat karena tak mengatur tentang aktivitas uji coba rudal balistik Iran dan perannya dalam konflik di kawasan.

Setelah mengambil langkah demikian, Trump menerapkan kembali sanksi ekonomi berlapis terhadap Teheran. Sanksi-sanksi itu membidik sektor minyak, keuangan, otomotif, industri logam mulia, dan lainnya.

Penerapan kembali sanksi ekonomi membuat Iran gusar. Mereka secara bertahap  menangguhkan komitmennya dalam JCPOA. Hal itu dimulai dengan melakukan pengayaan uranium yang melampaui ketentuan JCPOA pada Juli lalu. Iran telah mengambil empat langkah mundur dari kesepakatan nuklir.

Langkah terakhir terjadi pada 4 November lalu. Saat itu para ahli Iran mulai memasukkan gas uranium hexafluoride ke dalam sentrifugal pengayaan mothball di pabrik bawah tanah Fordow di selatan Teheran.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement