Jumat 06 Dec 2019 17:37 WIB

Pertautan Erat Kerajaan Singasari dan Melayu

Amoghapasa tunjukkan kedatangan utusan Singasari ke Dharmasraya untuk persahabatan

Arca Amoghapasa di Museum Nasional, Jakarta Pusat.
Foto: Erik Purnama Putra
Arca Amoghapasa di Museum Nasional, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Arca itu dengan mudah ditemukan pengunjung Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Selain karena penempatannya di lokasinya strategis, Arca Amoghapasa menjadi satu-satunya arca yang diberi sinar lampu, sehingga pasti langsung menyita perhatian siapa pun yang melihatnya.

Republika memerhatikan secara detail Arca Amoghapasa yang ditempatkan pengelola di sisi kanan tidak jauh dari pintu masuk utama museum. Arca yang terbuat dari batu andesit dan berukuran tinggi 163 sentimeter (cm) dan lebar 97-139 cm, ini ditempatkan di atas alas yang dinamakan Prasasti Padang Roco. Pengelola Museum Nasional memberikan nomor inventaris D.198-6469 di bagian arca dan D.198-6468 untuk bagian alas atau prasasti.

Bagian arca dan alas ditemukan secara terpisah, tetapi aslinya keduanya dulunya merupakan satu kesatuan yang dikirim dari Jawa oleh Kertanegara ke Sumatra. Bagian arca ditemukan sekitar tahun 1880-an di Situs Rambahan yang terletak dekat sungai Langsat, sekitar 10 kilometer arah ke hulu Sungai Batanghari.

Sedangkan Prasasti Padang Roco baru ditemukan di kompleks Percandian Padang Roco pada 1911. Dalam tulisan huruf Jawa kuno serta bahasa campuran antara Sansekerta dan Melayu kuno di Prasasti Padang Roco, menjelaskan patung ini merupakan hadiah dari Raja Singasari (periode 1268-1292) Kertanegara kepada Raja Melayu (1286–1316), Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang berkuasa di Dharmasraya dikirim pada 22 Agustus 1208 saka atau 1286 masehi.

Isi Prasasti Padang Roco dibuka dengan kata: “Bahagia!” "Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahmana, ksatria, waisa, sudra, dan terutama pusat segenap para arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa." Sedangkan pada bagian belakang arca terdapat tulisan yang disebut dengan Prasasti Amoghapasa bertarikh 1347 masehi, yang tambahan tulisan tersebut dipahat oleh Raja Adityarwan dari Dinasti Mauli selaku penerus penguasa Kerajaan Melayu.

Kepala Museum Nasional Siswanto menuturkan, Arca Amoghapasa menjadi bukti adanya hubungan erat antara Kerajaan Singasari dengan Kerajaan Melayu. Dia menjelaskan, Arca Amoghapasa bisa menjelaskan mengapa saat itu Kerajaan Singasari yang berkuasa di Jawa Timur melakukan Ekspedisi Pamalayu untuk menemui penguasa Kerajaan Melayu di Sumatra. Menurut Siswanto, dari berbagai bukti terkini menunjukkan bahwa ekspedisi itu lebih sebagai upaya untuk menjalin kerja sama antardua kerajaan yang berkuasa di Jawa dan Sumatra.

Misi Kerajaan Singasari mendatangi Kerajaan Melayu, sambung dia, bisa bermacam-macam, termasuk membawa perdagangan, keagamaan, hingga ingin menunjukkan kekuasaannya sebagai penguasa Jawa yang berpengaruh. "Tapi tidak benar ekspedisi Kerajaan Singasari ke Kerajaan Melayu bersifat untuk penaklukkan. Kami pun tidak mendefinisikan atau membuat statemen sejarah begitu," kata Siswanto kepada Republika, belum lama ini.

Siswanto mengakui, memang ada tafsir sejarah yang menggambarkan Ekspedisi Pamalayu pada pertengahan abad ke-13 dari Jawa Timur ke Sumatra sebagai upaya penaklukan raja Jawa atas kekuasaan Melayu. Faktanya hal itu tidak didukung dengan argumen dan bukti yang kuat, sambung dia, sehingga Museum Nasional tidak pernah memberikan narasi seperti itu. Siswanto menuturkan, kedatangan rombongan Kerajaan Singasari ke Kerajaan Melayu bisa jadi untuk menjalin relasi dua penguasa yang memerintah sebuah wilayah untuk saling mendekatkan diri satu sama lain.

Dia menegaskan, tidak ada catatan sejarah yang membuktikan antara dua kerajaan itu saling ingin mengalahkan satu sama lain. Sehingga, memang lebih tepat kalau disebut Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin rasa persatuan antara Kerajaan Singasari dan Kerajaan Melayu yang sama-sama beraliran Hindu-Buddha.

"Ekspedisi itu memang tujuannya macam-macam. Tapi tidak ada tulisan tentang penaklukan, dan kami (Museum Nasional) ingin meluruskan tidak pernah mendefinisikan Ekspedisi Pamalayu sebagai sebuah penaklukan," ucap Siswanto.

Arkeolog Universitas Negeri Malang (UM) Dwi Cahyono mengatakan, ditemukannya Arca Amoghapasa menunjukkan kedatangan utusan Kerajaan Singasari ke Dharmasraya untuk menjalin persahabatan. Dia berpandangan, Ekspedisi Pamalayu memang ada muatan Kerajaan Singasari ingin memperbesar pengaruh kekuasaannya di luar Pulau Jawa. Namun, langkah mewujudkan itu tidak melulu dengan mengirim armada perang.

"Patung Amoghapasa itu memberikan bukti tidak ada peperangan dengan Kerajaan Melayu, ekspansi iya, tapi tidak ada penaklukkan sama sekali. Malah semacam ada akulturasi budaya dua kerajaan ini," kata Dwi.

Dia menjelaskan, kalau ditarik garis sejarah, sangat mungkin Kerajaan Singasari malah ingin bersekutu dengan Kerajaan Melayu untuk menghadapi serbuan pasukan Mongol dari Dinasti Yuan yang secara agresif memperluas kekuasaannya ke selatan hingga masuk wilayah Nusantara.

Hal itu tidak terlepas dari upaya Raja Kertanegara yang menolak tunduk terhadap kekuasaan Mongol. Bahkan, dalam sebuah riwayat, Kertanegara sampai menolak utusan utusan Kublai Khan, Meng Khi pada 1289, dan memotong salah satu telinganya, sebelum balik ke negaranya di Cina daratan.

Sadar dengan risiko yang diperbuatnya akan membuat tentara Mongol dengan armada besar akan menyerbu Singasari, lanjut Dwi, Kertanegara akhirnya berupaya menjalin hubungan baik dengan beberapa penguasa, salah satunya Kerajaan Melayu. Dwi mengatakan, Kertanegara sadar posisi Kerajaan Melayu yang menguasai Selat Malaka sangat strategis untuk mengadang kedatangan pasukan Mongol yang ingin ke Jawa.

Sehingga kalau Singasari dapat bersekutu dengan Melayu maka ancaman serbuan prajurit Kublai Khan yang ingin menghancurkan Jawa bisa dicegah di tengah jalan. "Jadi Singasari ini sepertinya ingin benar-benar menyiapkan beberapa tempat untuk menahan serangan dari Mongol, dan Kerajaan Melayu di Sumatra itu salah satunya yang diajak bekerja sama," ucap Dwi.

Meluruskan versi Kolonial

Sejarawan Universitas Andalas (Unand) Gusti Asnan menambahkan, penulisan sejarah Ekspedisi Pamalayu selama ini memang memuat beberapa informasi yang tidak akurat. Dia menyinggung sejarah selama ini yang dipercaya tentang kedatangan Kerajaan Singasari ke Dharmasraya adalah untuk menaklukkan Kerajaan Melayu. Menurut dia, versi sejarah itu dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda yang sengaja memuat ajaran adu domba kepada rakyat Indonesia.

Gusti menuturkan, versi itu terus diajarkan di sekolah dalam kurikulum pendidikan sejarah sampai tahun 1950-an, lantaran pada awal kemerdekaan RI, sebagian besar literatur masih merujuk kepada warisan Belanda. "Nah sekarang lahir sumber-sumber dan interprestasi baru. Ternyata Ekspedisi Pamalayu tidak ada unsur penaklukkan, yang ada (dua kerajaan) bersama untuk menjaga keamanan laut dari serangan Mongol yang ekspansif ke wilayah selatan," ucap Gusti.

Dia menyatakan, rombongan Kerajaan Singasari yang membawa Arca Amoghapasa untuk diserahkan kepada Kerajaan Melayu menjadi bukti nyata bahwa dua kerajaan tersebut sebenarnya memiliki hubungan persaudaraan yang kuat. Apalagi kala itu pengaruh agama Hindu-Buddha sangat besar di Jawa dan Sumatra, sehingga ada faktor yang membuat kedua kerajaan itu bisa saling bekerja sama.

Sangat mungkin pula, kata dia, Kerajaan Singasari dan Melayu memutuskan bersatu untuk menghadapi serbuan pasukan Mongol yang memiliki kekuataan besar. Dari sejarah itu, dapat disimpulkan ada sejarah kontradiksi yang sengaja diciptakan oleh Belanda untuk diwariskan kepada generasi berikutnya bahwa sejak lama antara penguasa Pulau Jawa dan Sumatra maupun Pulau Jawa dan non-Jawa tidak pernah akur, karena saling berperang.

Mengacu hal itu, menurut Gusti, sudah seharusnya versi baru sejarah hubungan erat antara Kerajaan Singasari dan Melayu diajarkan di sekolah. Tujuannya, kata dia, agar generasi sekarang ini memahami bahwa rasa persatuan yang terjalin di Nusantara itu sudah dicontohkan sejak lebih tujuh abad lalu.

"Yang terjadi Ekspedisi Pamalayu itu digambarkan sangat Kolonial sentris ceritanya, mengandung sejarah pecah belah. Karena itu perlu diadakan rewriting karena Kerajaan Singasari datang membawa misi perdamaian. Karena kalau mau invasi kok malah membawa cenderamata?" kata Gusti.

Bupati Dharmasraya Sutan Riska melanjutkan, pada kenyataannya memang belum ada bukti otentik yang mengatakan kehadiran Kerajaan Singasari ke Kerajaan Melayu bertujuan untuk menduduki suatu wilayah. Dia menuturkan, narasi penaklukan yang terbangun dan selama ini dipercaya sebagian kalangan memang perlu diluruskan. “Bagaimana mungkin bisa dikatakan sebagai penaklukan, sedangkan ada pengiriman Arca Amoghapasa. Amoghapasa sendiri melambangkan kasih sayang, bagaimana bisa dikatakan sebagai penaklukan?” ujar Sutan Riska saat peluncuran Festival Pamalayu di Museum Nasional pada 22 Agustus lalu.

Sutan Riska menyebutkan, Arca Amoghapasa memiliki prasasti di punggung arca, yang dapat diartikan sebagai matahari terbit yang indah. Prasasti yang ada di balik punggung arcanya pun menjelaskan tentang keindahan dan kebajikan serta harapan-harapan pesan damai. Sutan Riska menyebutkan, masih adanya narasi yang mengatakan Ekspedisi Pamalayu sebagai sebuah penaklukan Jawa terhadap Sumatra diduga sengaja dibuat Pemerintah Kolonial.

Dia pun ingin sejarah yang bengkok itu bisa kembali lurus dengan adanya Festival Pamalayu yang dihelat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Dharmasraya. Melalui Festival Pamalayu, Sutan Riska mengajak masyarakat untuk dapat mempererat kembali persatuan, kesatuan, dan persahabatan yang sebenarnya telah lama dijalin peradaban nenek moyang dari berbagai daerah yang tergabung dalam Nusantara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement