REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sudah memprediksi tidak dicantumkan larangan mantan terpidana korupsi dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Peraturan ini diterbitkan pada 2 Desember 2019 menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
"Tidak dicantumkannya pelarangan mantan napi korupsi di PKPU Pencalonan sudah bisa diprediksi. Sebab KPU berhadapan dengan ekosistem hukum dan politik yang tidak mendukung terobosan yang ingin dilakukan KPU," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Republika, Jumat (6/12).
Menurut dia, KPU berada dalam dilema yang dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk mengesahkan peraturan teknis pencalonan. Jika memaksakan pengaturan pencalonan mantan napi risikonya pengesahan PKPU pencalonan akan berlarut-larut.
Titi mengatakan, kalau KPU memaksakan larangan tersebut, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) pasti akan menolak mengundangkan PKPU pencalonan tersebut. Alasannya karena bertentangan dengan Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi.
"Kalau KPU tetap mengatur sekalipun, Kemenkumham pasti tidak bersedia mengundangkannya karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," kata Titi.
Selain itu pasti juga akan segera diuji oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Agung (MA) dan bisa dipastikan akan dibatalkan oleh MA. KPU juga akan dilaporkan pihak-pihak yang kontra ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Titi melanjutkan, KPU dianggap sudah bertindak di luar ketentuan hukum dan membuat ketidakpastian proses pencalonan. Jadi dalam hal ini, KPU akan berhadapan dengan perlawanan politik dan hukum sekaligus dari para pihak yang menentang pengaturan itu.
Titi menaruh harapan besar pada putusan Mahkamah Konstitusi agar mengabulkan permohonan uji materi yang dilayangkan Perludem. Permohonan itu yakni pencalonan mantan napi dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Rencananya MK akan memutus perkara tersebut pada Rabu (11/12) mendatang. "Kami berharap MK akan memberikan kejelasan dan angin segar bagi upaya kita mendapatkan calon kepala daerah yang berintegritas," tutur Titi.
"Kalau tidak dengan Putusan MK, di tengah kondisi DPR yang tidak ingin mengubah UU Pilkada, maka polemik soal ini tidak akan pernah berhenti. Titi menuturkan, ini upaya menjaga agar pencalonan pilkada kita bisa terbebas dari calon-calon yang bermasalah dan beresiko bagi publik," ungkap dia.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Akan tetapi, tak ada secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi seperti yang diwacanakan.
"Kita berharap itu kan di masukan dalam Undang-Undang, karena kita juga sekarang ini kan lebih fokus pada tahapan. Jadi supaya jangan terlalu misalnya menjadi lama," ujar Komisioner KPU RI Evi Novida Manik saat dihubungi, Jumat (6/12).
Dalam Pasal 4 soal persyaratan calon kepala daerah, tidak ada larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi. Pasal 4 ayat H masih sama dengan aturan sebelumnya yakni PKPU Nomor 7 Tahun 2017 yang hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana.
Dua mantan terpidana yang tersirat disebutkan dilarang dalam PKPU antara lain bukan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Akan tetapi, Evi mengatakan, PKPU Nomor 8/2019 ada penambahan Pasal 3A yang intinya bakal calon kepala daerah diutamakan bukan mantan terpidana korupsi.