Sabtu 07 Dec 2019 21:15 WIB

Membaca Kembali Definisi Riba Menurut Mantan Syekh Al-Azhar

Riba menurut mantan Syekh al-Azhar bukan bunga bank.

Bunga bank dalam pandangan mantan Syekh Al-Azhar tak termasuk riba. Foto suku bunga bank (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Bunga bank dalam pandangan mantan Syekh Al-Azhar tak termasuk riba. Foto suku bunga bank (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan Keira Publishing mengadakan bedah buku Bunga Bank Halal? yang digelar di ruang Theater Lantai 2 Gedung Fakultas Syariah dan Hukum. 

Tampil Sebagai pembicara utama adalah Dr Abdul Rouf, MA yang juga penerjemah Bunga Bank Halal?. Sementara  pembandingnya Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,  Dr Muhammad Maksum. 

Baca Juga

Buku yang diterjemahkan dari karya Sayyid Muhammad Thanthawi ini membahas seputar hukum bunga bank dan transaksi ekonomi modern dari perpektif Islam. Buku ini diberi kata pengantar oleh Prof Huzaemah Tahido Yanggo, Rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta. 

Abdur Rouf menjelaskan bahwa bank sangat erat kaitannya dengan aktivitas finansial (keuangan). Aktifitas perbankan, baik itu bersifat sekunder, yang umumnya berupa jasa berbayar atau perdagangan uang, telah menyulut polemik di kalangan ulama, bahkan telah timbul kesan yang menakutkan akan adanya bias riba dalam transaksi perbankan. 

Di sinilah letak inti masalah perdebatan di kalangan ulama. Dia melanjutkan, “Fungsi utama dari bank juga telah menimbulkan perdebatan sejak awal kemunculannya di negeri-negeri yang dihuni oleh kaum Muslimin, seperti Indonesia.” 

Abdul Rouf, selaku penerjemah buku ini menambahkan, Inti utama yang menjadi perdebataan di banyak kalangan, baik para ahli fikih ataupun para praktisi perbankan. Dicontohkan pula, jika ada orang meminjam uang ke untuk beli susu anaknya karena tidak punya uang sama sekali,  maka ketika dia mau bayar itu lebih baik tidak usah menerimanya,  karena jika menerimanya, bisa berdosa karena dia kepepet, dalam keadaan fakir. 

Abdu Rauf melanjutkan, kalau meminjam uang untuk beli rumah atau usaha misal ke bank dan pastinya hasil usaha itu lebih banyak dari yang dipinjam,  maka menurut Syekh Thanthawi itu termasuk riba yang tidak diharamkan. 

Karena bank juga butuh profit untuk gaji karyawan,  dan pihak banknya juga sudah mengatur bunganya. Maka bunga itu bisa disebutkan sebagai ujroh (upah). Bunga Bank itu bukan haram,  karena sesuatu yang baru. “Kita tidak bisa disamakan dengan riba di zaman jahiliyah. Yang dilakukan bank itu masih manusiawi, bunganya masih rasional,” tutur dia.   

Sementara itu Dr Muhammad Maksum, selaku pembanding, menjabarkan Inti masalah yang diperdebatkan adalah pihak bank menerima titipan dana, yang kemudian oleh pihak bank uang itu diinvestasikan, lalu penyimpan mendapatkan bagian tertentu dari jumlah nominal simpanannya. 

Menurut dia, perbedaan para ulama itu sudah muncul seiring munculnya bank di era modern terkait hukum transaksinya (transaksi perbankan). 

Inti perbedaan mereka terletak pada asumsi dan takyif (delik) terkait transaksi perbankan itu sendiri. Setidaknya ada lima teori yaang diusung dari kaca mata fikih untuk menyikapi masalah perbankan di masa sekarang, antara lain: teori sanadiyyah, ‘ardhiyyah, badaliyyah, ilhaq bil fulus dan naqdiyyah. 

Wakil Dekan Fakultas Syariah ini menambahkan bahwa pada buku ini Sayyid Thanthawi tidak mendefinisikan bunga sebagai riba. Bunga bank itu berubah sesuai unsur ekonomi. “Bank dengan kita adalah tukar manfaat,” ujar dia.  

Sayyid Thanthawi dalam buku ini mendukung pernyataan Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Mannar saat menafsirkan ayat-ayat riba. 

Di dalamnya terdapat pernyataan, “Bukan termasuk riba orang yang memberi harta kepada orang lain yang dipinjami dengan mendapatkan bagian tertentu dari usahanya. Sebab, hal itu tidak menyalahi kaidah para ahli fikih dalam menentukan bagian tertentu, baik labanya sedikit maupun banyak, sebab transaksi seperti ini amat bermanfaat bagi kedua belah pihak (pekerja dan pemilik harta).”

Maksum menjelaskan,  mendepositokan harta pada suatu lembaga keuangan, menurut Sayyid Thanthawi, adalah termasuk bentuk mudharabah, para depositor berlaku sebagai pemilik harta, sementara bank sebagai pihak pengelola. 

Mudharabah, kata dia, adalah suatu kontrak kerja sama antara dua belah pihak dengan syarat modal dari satu pihak, sementara pengelolaan dari pihak lain, lalu keuntungannya dibagi kedua pihak sesuai persentasi yang telah disepakati ketika akad. 

Dengan kata lain, kata Maksum, apa yang diistilahkan ‘bunga’ oleh Sayyid Thanthawi adalah keuntungan bagi hasil dari akad mudharabah tersebut. Hal yang demikian ini dibenarkan oleh syara’.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement