Ahad 08 Dec 2019 09:51 WIB

Tekanan Cabut Moratorium Tarif Perdagangan Digital Mencuat

Tekanan cabut moratorium mencuat karena kian banyak produk digital

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Tekanan cabut moratorium mencuat karena kian banyak produk digital seperti buku dan film. Ilustrasi.
Foto: windipress.com
Tekanan cabut moratorium mencuat karena kian banyak produk digital seperti buku dan film. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Moratorium global atas pengenaan tarif pada perdagangan digital yang telah berlangsung selama 20 tahun berpotensi usai pekan depan. Tekanan untuk mencabut moratorium tersebut tumbuh. Tekanan ini muncul mengingat kian banyaknya produk digital seperti perangkat lunak, termasuk buku dan film.

India dan Afrika Selatan (Afsel) telah mengedarkan dokumen internal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam dokumen yang sempat diperoleh Reuters, kedua negara itu menilai peran moratorium sementara tahun lalu harus dipikirkan kembali. Peningkatan digitalisasi adalah indikator yang memaksa untuk melakukan hal tersebut.

Baca Juga

Duta Besar Afsel untuk WTO, Xolelwa Mlumbi-Peter, mengungkapkan pihaknya masih melakukan konsultasi tentang keputusan penting itu. Sedangkan India tak merespons permintaan komentar.

Penerapan tarif terhadap produk digital, termasuk perangkat lunak, dianggap sebagai tugas yang sulit. Di sisi lain, tidak jelas bagaimana hal itu akan ditentukan dari mana produk digital berasal dan apakah impor.

"Bagaimana Anda menetapkan tarif pada byte? Bagaimana Anda menangkap jutaan aliran data dari berbagai sumber yang mengalir melintasi batas negara setiap menit setiap hari," kata Sekretaris Jenderal Kamar Dagang Internasional (ICC) John Denton.

Moratorium penerapan tarif terhadap perdagangan digital akan berakhir akhir tahun ini. Akan tetapi sebanyak 21 negara, termasuk China dan Kanada, telah mengajukan proposal agar moratorium itu diperpanjang setidaknya selama enam bulan. Pialang kesepakatan, Swiss, mengatakan sebagian besar WTO telah mengisyaratkan dukungan untuk moratorium.

Menurut Mlumbi-Peter, saat moratorium berakhir penerapan tarif tidak serta merta mengikuti. Namun hal itu dipandang lebih mungkin dalam budaya permisif baru setelah kelumpuhan dari badan penguasa utama WTO pasca 10 Desember.

"Jika seseorang mencoba melakukan percobaan menempatkan bea cukai, bahkan pada rangkaian produk atau layanan terbatas, maka ada risiko pembalasan segera yang tidak ada pada fungsi penyelesaian sengketa," kata Andrew Wilson dari ICC.

Sebuah laporan PBB yang baru-baru ini dirilis menyebut potensi kerugian pendapatan tarif tahunan bisa mencapai 10,4 miliar dolar AS per tahun. Lebih dari 10 miliar dolar AS hilang oleh negara-negara berkembang WTO.

"Semakin banyak produksi akan didigitalkan pada masa mendatang sehingga negara-negara berkembang akan kehilangan pendapatan tarif," ujar Rashmi Banga, penulis laporan tersebut.

Sejak 1998, anggota WTO telah memperbarui larangan bea impor atas apa yang dinamakan 'transmisi elektronik'. Menurut satu perkiraan, nilainya mencapai 255 miliar dolar AS setahun.

Beberapa pihak menilai hal itu menguntungkan negara-negara kaya. Hal itu meningat bahwa mereka memperoleh dukungan kuat dari AS pada permulaan dan sebagian besar pendapatan bea cukai yang hilang dianggap dilahirkan oleh negara-negara berkembang.

Tekanan kini tumbuh untuk mencabut larangan tersebut. Sebab saat ini lebih banyak buku dan film menjadi digital yang artinya berpotensi mengurangi pendapatan lebih lanjut.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement