REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Centre of Strategic International Studies (CSIS) Arya Fernandes meminta partai politik (parpol) berkomitmen untuk mendaftarkan bakal calon kepala daerah yang kredibel dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Menurut dia, parpol seharusnya tidak mencalonkan mantan terpidana menjadi kepala daerah.
"Komitmen partai memang untuk mencari orang-orang track record yang bagus, yang kredibel, yang tidak pernah berhadapan dengan kasus hukum untuk dicalonkan," ujar Arya kepada wartawan di Jakarta Pusat, Ahad (8/12).
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang persyaratan pencalonan pilkada, kata Arya, perlu diperhatikan parpol untuk menghadirkan calon kepala daerah yang bersih dan tidak pernah melakukan tindakan melanggar hukum. Termasuk, mengutamakan orang-orang yang bukan mantan terpidana korupsi.
Ia menuturkan, parpol perlu mencari orang-orang terbaik untuk memimpin rakyat di daerah. Seharusnya, parpol bercermin pada banyaknya penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi.
"Dengan munculnya PKPU itu saya kira adalah langkah yang bagus agar partai berhati-hati memilih orang. Publik sadar ada pembelajaran politik bahwa soal pencaloan, kepeminpinan, itu perlu diisi oleh orang-orang yang memang punya kredibilitas," ungkap Arya.
Ia melanjutkan, KPU yang tidak tegas melarang mantan terpidana korupsi karena sadar peraturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang tak mengatur pelarangan tersebut. Hal itu juga dampak dari penolakan parpol atas wacana larangan itu.
DPR pun akhirnya tidak beritikad untuk merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menjelang pilkada serentak 2020 agar memasukkan aturan larangan mantan narapidana korupsi maju pilkada. Politikus beralasan ada hak politik seseorang untuk dipilih dan memilih sepanjang tidak dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Arya pun mengungkapkan alasan masih diusungnya mantan terpidana korupsi yang terjadi di pilkada sebelumnya. Di antaranya, kemugkinan yang bersangkutan memiliki sumber pendanaan yang kuat.
"Sehingga partai juga mendapatkan feedback atau apa dari peroses pencalonan, yang kedua mungkin dia popopuler, sehingga walaupun dia mantan napi koruptor tapi karna dia populer mungkin potensi menangnya lebih besar," tutur dia.
Selain itu, lanjut Arya, kemungkinan yang bersangkutan juga merupakan orang kuat atau tokoh penting yang ada di daerahnya. Dengan demikian, ada dorongan untuk parpol mencalonkan mantan terpidana korupsi karena menganggap akan ada proses memperbaiki diri.
Sebelumnya, KPU RI telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Akan tetapi, tak ada secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi seperti yang diwacanakan.