REPUBLIKA.CO.ID, UIJEONGBU— Song Hong Ryon tidak berbeda seperti perempuan Korea Selatan (Korsel) kebanyakan. Tapi sejak ia datang dari Cina tiga tahun yang lalu perempuan 19 tahun itu hanya memiliki dua teman asli Korea.
Song peranakan Cina-Korea Utara (Korut) yang menyusul ibunya tinggal di Korsel. Dia mengatakan sering tersakiti karena hal-hal kecil. Seperti pertanyaan dari orang-orang apakah dia berasal dari Cina hanya karena aksennya sedikit berbeda. "Saya banyak menderita sendiri," kata Song, Ahad (8/12).
Ibu Song melarikan diri dari Korut pada akhir 1990-an. Seperti puluhan ribu perempuan Korut lainnya ia mencari makan dan pekerjaan di Cina demi menghindari kelaparan. Banyak perempuan Korut yang dinikahkan oleh petani miskin Cina sebelum akhirnya bisa melarikan diri ke Korsel.
Di Korsel mereka ditempatkan sebagai seorang pengungsi. Banyak anak-anak hasil pernikahan dengan laki-laki Cina itu yang tidak bisa bertemu ibu mereka lagi. Bagi yang berhasil kebanyakan frustasi dan tersingkir. Mereka kesulitan untuk hidup di kebudayaan yang sangat berbeda. Mereka tidak memiliki teman dan kerabat.
Banyak ibu yang berasal dari Korut itu takut jika mereka tetap bertahan di Cina mereka akan ditangkap dan dikembalikan ke negara asal. Karena itu mereka pergi ke Korsel untuk menjadi pengungsi. Sebagian besar meninggalkan anak-anak mereka di Cina.
Jika berhasil mendapatkan pekerjaan dan menabung mereka dapat membawa anak dan suami mereka ke Korsel. Tapi sebagai anak ditinggalkan begitu saja atau suami mereka menolak meninggalkan kampung halaman dan tinggal di negara yang sepenuhnya asing.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyatukan keluarga Cina-Korut itu. Sebagian anak harus tinggal sendiri di masa remaja mereka.
Song mengatakan ibunya meninggalkan rumah mereka di timur laut Yanji, Cina, pada 2010. Satu tahun kemudian ayah menyusul ke Korsel. Ia ditinggal bersama kakek-neneknya.
"Ketika ibu saya pergi, saya tidak menangis, tapi ketika ayah saya pergi, saya menangis kencang, saya pikir karena saya merasa benar-benar sendirian," kata Song.
Setelah enam tahun berpisah Song baru bisa berkumpul kembali bersama orangtuanya pada tahun 2016. Tapi ibunya meninggal dunia pada Desember 2016 lalu karena kanker paru-paru. "Saya jadi menyalahkan Tuhan, saya bertanya mengapa ini terjadi pada saya," katanya.
Di Korsel, anak-anak seperti Song mengalami krisis identitias, keterbatasan bahasa, dan perbedaan penampilan. Bantuan pemerintah untuk mereka juga sedikit.
Banyak dari mereka yang merasa sebagi orang asing dan tertinggal secara akademis dan sulit mendapatkan teman. Sebagian dari mereka pulang ke Cina dan berpisah lagi dengan ibu mereka.
Mereka kerap bingung apakah mereka orang Cina, Korsel atau pengungsi Korut. Karena tidak ada orang tua mereka yang berasal dari Korsel. Mereka juga tidak mendapat bantuan untuk melakukan asimilasi di negara yang sangat kompetitif dan bergerak cepat.
"Digabung dengan bias sosial dari Korea Selatan terhadap mereka dan pandangan yang menyimpang tentang (orang-orang Korsel di sekitar mereka), sebagian besar mereka menyerah pada kesempatan untuk mengembangkan diri dan ini merusaka mereka dalam mengejar potensi mereka," kata kepala sekolah alternatif Great Vision School, Kim Doo Yeon.