Senin 09 Dec 2019 09:40 WIB

Berjalan 6 Bulan, Demo Antipemerintah Hong Kong Berlanjut

Berjuang demi kebebasan, berdiri bersama Hong Kong

Peserta aksi Hong Kong menyalakan senter dari smartphone mereka saat berkumpul di jalanan Hong Kong, Ahad (8/12). Enam bulan berlalu, aksi demonstrasi Hong Kong masih berlangsung.
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Peserta aksi Hong Kong menyalakan senter dari smartphone mereka saat berkumpul di jalanan Hong Kong, Ahad (8/12). Enam bulan berlalu, aksi demonstrasi Hong Kong masih berlangsung.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Lintar Satria

Baca Juga

Ribuan pengunjuk rasa berpakaian hitam kembali memenuhi jalanan utama Hong Kong, Ahad (8/12). Para aktivis, tua muda, berjalan dari Victoria Park menuju Chater Road yang berada dekat pusat distrik keuangan.

"Berjuang demi kebebasan, berdiri bersama Hong Kong," demikian slogan massa.

Sebelumnya, pemerintah Hong Kong memang memberi lampu hijau bagi Civil Human Rights Front (CHRF) yang dikenal sebagai penyeru aksi untuk menggelar demo. Izin ini terhitung pertama kalinya sejak 18 Agustus.

"Saya ingin berjuang demi kebebasan sampai mati karena saya warga Hong Kong," kata June (40 tahun), seorang ibu yang berpakaian hitam. "Inilah saatnya berdiri bersama Hong Kong dan dunia internasional."

Gema "lima tuntutan, tak kurang dari itu" terdengar di sepanjang jalan. Seruan itu mengacu pada lima tuntutan para pengunjuk rasa, termasuk kebebasan untuk memilih sendiri pemimpin Hong Kong.

Sebelumnya, polisi menahan sejumlah orang dan menyita senjata, termasuk pisau komando, dan kembang api. Polisi juga untuk pertama kalinya menyita senjata semiotomatis berikut 105 butir peluru.

Jalan yang biasanya dipadati kemacetan, kali ini sepi dari kendaraan. Namun, pengunjuk rasa tampaknya mengajak serta keluarga mereka untuk ikut beraksi. Para pelajar, tenaga profesional, dan warga berusia senior ikut serta dalam aksi kali ini.

Besarnya jumlah pengunjuk rasa pada Ahad tampaknya menunjukkan dukungan untuk aksi antipemerintah masih luas. Namun, tak dimungkiri bahwa semakin sering terjadi insiden kerusuhan di wilayah yang jarang terjadi kekerasan ini.

Unjuk rasa meletus pada Juni untuk memprotes rancangan undang-undang ekstradisi yang membuat tersangka di Hong Kong diadili di Cina. Tapi, tuntutan unjuk rasa meluas hingga demokrasi yang lebih besar lagi.

photo
Foto udara menunjukkan ribuan demonstran masih memenuhi jalanan di Hong Kong, Ahad (8/12). Enam bulan berlalu, pemrotes tak berniat mengakhiri aksi mereka.

Pada Sabtu (7/12) pemerintah Hong Kong mengatakan, telah belajar dari pelajaran sebelumnya dan akan mendengarkan dan menerima kritikan. Kepala komisioner kepolisian yang baru Chris Tang menyatakan, pasukannya akan menggunakan pendekatan yang fleksibel untuk menghadapi pengunjuk rasa.

Tang mengatakan, akan menggunakan dua pendekatan, yaitu "tegas dan lunak" dalam menghadapi demonstrasi. Lebih dari 900 orang ditangkap sejak Hong Kong diguncang unjuk rasa pada Juni lalu.

Unjuk rasa di daerah otonom Cina ini kerap berubah menjadi kerusuhan. Bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi membuat petugas keamanan melepaskan gas air mata dan peluru karet.

Pengunjuk rasa membakar kendaraan dan gedung-gedung. Mereka melempari kantor polisi dengan bom molotov. Pengunjuk rasa juga merusak stasiun-stasiun kereta, menjatuhkan puing-puing dari jembatan ke jalanan yang ada di bawahnya, dan merusak mal-mal serta kampus-kampus.

Kerusuhan-kerusuhan itu memunculkan pertanyaan bagaimana dan kapan gejolak akan berhenti. Pengunjuk rasa marah dengan apa yang mereka sebut sebagai campur tangan Cina dalam kebebasan yang dijanjikan terhadap Hong Kong saat diserahkan kembali oleh Inggris pada 1997.

Cina membantah mengintervensi urusan internal Hong Kong. Sebaliknya, Beijing menyalahkan negara-negara asing, seperti Inggris dan Amerika Serikat sebagai dalang kerusuhan di Hong Kong. n reuters ed: yeyen rostiyani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement