REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI), Syamsudin mengatakan, pihaknya menentang penghapusan materi yang mengandung sejarah perang dan khilafah dari kurikulum di madrasah. Sebab, jika merujuk pada radikalisme, pendidikan dari agama tertentu, bukan menjadi penyebabnya.
"Intinya sistem kenegaraan khilafah tidak mungkin lagi ditegakkan. Sudah berakhir sejak Islam Ottoman Turki dulu," Ujar dia ketika dihubungi Republika, Senin (9/12).
Dia menambahkan, dengan adanya sistem negara bangsa saat ini, faktor radikalisme lebih ditekankan pada kondisi ekonomi dan politik. Sehingga, tidak ada hubungannya dengan pendidikan Agama. "Apalagi kurikulum pendidikan Agama Islam," katanya.
Sambung dia, masyarakat Islam Indonesia sudah sangat toleran dengan hidup dengan suasana kemajemukan. Oleh sebab itu, penghapusan kurikulum yang mengandung sejarah Islam, dinilai tidak sesuai dengan keyakinan bangsa Indonesia.
Dia menilai, pendidikan agama Islam sangat relevan dengan nilai Pancasila. Bahkan, kedua hal tersebut sangat berkaitan satu sama lainnya.
"Jadi untuk menangkal pikiran dan tindakan radikal itu, yang harus diperbaiki adalah metode dakwah dan mengajar saja," Tuturnya.
Dia memaparkan, metode penyampaian yang dimaksud adalah dengan ramah dan santun. Sebagaimana diajarkan dan dicontohkan Rasullulah.
"Mungkin tak perlu meledak-ledak cara penyampaiannya. Tapi juga jangan terus memberi pandangan umat Islam yang selalu di beri stigma buruk seperti Radikal," katanya.
Sebelumnya, seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan perang atau jihad telah diperintahkan untuk ditarik dan diganti. Hal ini sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI.
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah pada Kementerian Agama (Kemenag), Umar, menjelaskan yang dihilangkan sebenarnya bukan hanya materi khilafah dan perang. Setiap materi yang berbau ke kanan-kananan atau ke kiri-kirian dihilangkan.
Dia mengatakan, setiap materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan dan toleransi juga dihilangkan. "Karena kita mengedepankan pada Islam wasathiyah," kata Umar kepada Republika.co.id, Sabtu (7/12).
Dia menerangkan, dulu Rasulullah mengajarkan semangat perjuangan. Tapi semangat perjuangan dalam konteks saat ini tidak lagi model perjuangan perang. Nanti dalam sejarah kebudayaan Islam tetap membahas Rasul pernah berperang.
Menurut Umar, perang memang bagian dari sejarah kehidupan Rasul, tapi Rasul tidak hanya berperang saja. "Tetapi justru yang kita ungkap banyak nanti aspek kehidupan Rasul yang menjaga perdamaian yang madani," ujarnya.
Umar mengatakan, perjuangan Rasul membangun masyarakat madani yang dikembangkan. Pokoknya tetap ada tentang perang tapi tidak dominan. Sehingga tidak mengesankan Rasul hanya melakukan perang saja.
Dia menegaskan, memang Rasul pernah berperang tapi bukan hanya perang saja yang dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. "Rasul pernah berperang iya, tetapi Rasul bukan hanya berperang saja, dan kalau Rasul berperang bukan berarti Islam didakwahkan dengan cara keras," jelasnya.
Umar menyampaikan bahwa yang ingin dikedepankan oleh Kemenag adalah Rasul yang membangun masyarakat madani. Supaya dapat dipahami pentingnya menjaga perdamaian dan toleransi. Sebab Rasul dengan umat-umat agama lain juga toleransi.
Dia menambahkan, semua buku-buku ajar di MI, MTs, dan MA berorientasi pada penguatan karakter, ideologi Pancasila, dan anti korupsi. Paling utama mengajarkan Islam wasathiyah.
"Jadi kita ini menyiapkan generasi yang akan datang generasi yang betul-betul bisa menjaga perdamaian, persatuan dan toleransi demi keutuhan NKRI dan kejayaan Islam di Indonesia," jelasnya.
Umar mengingatkan, di Indonesia khilafah ditolak, maka tidak mungkin mengajarkan materi yang konteksnya membangun khilafah yang bertentangan dengan Indonesia.
"Apakah kemudian pemerintahan Islam (khilafah) enggak diajarkan? Ya tentu nanti ada porsi (pelajaran tentang) membangun peradaban dan pemerintahan, tapi yang sesuai dengan negara kita Indonesia," jelasnya.