REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kementerian Kesehatan melalui Balitbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional terus berusaha meningkatkan penggunaan jamu atau obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal di Tanah Air. Salah satunya melalui saintifikasi jamu atau obat tradisional.
Peneliti Balitbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Yuli Widiyastuti mengatakan, saintifikasi akan menjadi pembuktian ilmiah terhadap obat tradisional. Aspek yang diteliti dapat mencakup berbasis layanan kesehatan, riset keamanan, dan kemanfaatan.
Yuli menuturkan, saintifikasi jamu bertujuan memberi landasan ilmiah atas praktek pelayanan jamu di fasilitas kesehatan. Dari sana, diharap dapat meningkatkan penyediaan jamu yang aman, bermutu dan berkhasiat.
"Ini perlu dukungan riset yang komperehensif dari hulu ke hilir," kata Yuli dalam Seminar Obat dan Pengobatan Tradisional yang digelar Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Gadjah Mada di Grha Sabha Pramana, Yogyakarta, Senin (9/12).
Hasil Riset Tanaman Obat dan Jamu (RISTOJA) 2017 menunjukkan, Indonesia memiliki 2.848 spesies tanaman obat dengan 32.014 ramuan obat. Kekayaan alam itu berpotensi besar untuk pengembangan industri obat tradisional.
Yuli menjelaskan, pengembangan tanaman obat menjadi jamu tersaintifikasi harus diawali dengan studi etnofarmakologi. Dari situ akan didapatkan base-line data terkait penggunaan tanaman obat secara tradisional.
Tahap berikutnya ialah seleksi formula yang potensial untuk terapi komplementer dan studi praklinik membuktikan khasiat dan keamanan ke hewan. Setelah melalui tahapan tersebut, studi klinik harus dijalankan guna mendapat bukti manfaat dan keamanan bagi manusia.
"Jamu yang terbukti berkhasiat dan aman dapat diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan," ujar Yuli.
Namun, Sudaryatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, ada sejumlah masalah yang berkembang di masyarakat soal obat tradisional. Salah satunya ialah peredaran obat tradisional berbahan kimia.
Sudaryatmo juga menyoroti masalah klaim berlebihan khasiat obat tradisional. Produsen kerap mengklaim produk yang dipasarkan dapat sembuhkan berbagai penyakit, tapi ternyata tidak memberi hasil yang dijanjikan.
tidak adanya nomor izin edar, hingga transparansi produk obat tradisional. Ia menegaskan, konsumen berhak mendapat informasi soal asal bahan baku dan proses produksi.
"Konsumen juga berhak mendapat infrormasi yang bisa dipertanggung jawabkan tentang khasiat obat tradisional," kata Sudaryatmo.
Sudaryatmo menilai, pemerintah perlu mengembangkan mekanisme pelaporan kasus-kasus yang berkaitan dengan konsumsi obat tradisional ini. Investigasi diperlukan agar ada hasilnya untuk perbaikan mutu obat tradisional.
Selain itu, hal yang mendesak untuk segera dilakukan adanya undang-undang tentang obat tradisional. Hal tersebut sangat diperlukan sebagai bentuk pengakuan hukumakan eksistensi obat tradisional.
"Tidak ketinggalan, perlu adanya standarisasi mutu dan pelabelan obat tradisional," ujar Sudaryatmo.