REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Aktivis hak asasi manusia (HAM) yang tergabung dalam kelompok The Free Rohingya Coalition (FRC) menyerukan boikot global terhadap Myanmar. Seruan itu digelorakan saat Myanmar akan menghadapi persidangan perdana dugaan tindakan genosida di Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.
FRC mengatakan telah memulai 'Kampanye Boikot Myanmar' dengan 30 organisasi di 10 negara. Mereka menyerukan perusahaan, investor asing, organisasi profesional, dan budaya untuk memutuskan hubungan kelembagaan dengan Myanmar.
"Boikot bertujuan membawa tekanan ekonomi, budaya, diplomatik, dan politik pada pemerintahan kaolisi Myanmar Aung San Suu Kyi dan militer," kata FRC dalam sebuah pernyataan pada Senin (9/12).
Aung San Suu Kyi dilaporkan telah tiba di Den Haag pada Ahad (8/12). Dia memimpin delegasi Myanmar untuk menghadapi persidangan ICJ yang dijadwalkan digelar pada 10-12 Desember. Dia hendak membela negaranya dari tudingan genosida.
Gambia yang mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) adalah pihak yang membawa kasus dugaan genosida terhadap etnis Rohingya ke ICJ. Gugatan diajukan pada awal November lalu.
"Gambia membawa kasus ini ke Pengadilan Internasional (ICJ) karena Gambia yakin bahwa Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida," ujar Menteri Kehakiman Gambia Abubacarr Tambadou dalam wawancara khusus dengan Anadolu Agency, dirilis pada Senin (9/12).
Menurut dia, apa yang terjadi di Negara Bagian Rakhine merupakan sesuatu yang mengerikan. "Dunia harus meminta pertanggungjawaban Myanmar atas tindakan ini dan satu cara untuk melakukan hal itu adalah proses hukum yang telah dilakukan Gambia," ucapnya.
Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tapi menggugat negara lain sebelum ICJ. Gambia dan Myanmar diketahui merupakan negara pihak dalam Konvensi Genosida, yang memberikan kewajiban, termasuk pencegahan dan hukuman kejahatan genosida.