REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Materi tentang khilafah dan jihad kini tidak lagi masuk dalam mata pelajaran (Mapel) Fikih, tapi Kementerian Agama sudah memindahkannya ke Mapel Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Pengamat Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah menilai, pemindahan materi khilafah ke pelajaran sejarah itu sudah tepat.
"Saya setuju dipindahkan dan disesuaikan penjelasannya dalam konteks sejarah, bukan membuka peluang berdirinya negara Islam Indonesia," ujar Jejen saat dihubungi Republika.co.id, Senin (9/12).
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah ini sepakat bahwa materi khilafah dan jihad dalam sejarah Islam tidak boleh dihapus. Tapi, kata dia, kalau sejarah Rasulullah dan sahabatnya saat mendirikan negara Khilafah tidak ditampilkan dengan benar justru dapat merusak wajah Islam.
"Kalau sejarah Rasulullah dan sahabatnya tidak ditampilkan dengan cermat, baik metodologinya atau pendekatannya, maka seolah-olah wajah Islam, wajah Rasulullah dan sahabatnya adalah wajah kekerasan," ucapnya.
Padahal, lanjut dia, dalam sejarahnya Rasulullah bisa menjadi teladan bagi generasi penerusnya, termasuk dalam konteks membangun kecintaan terhadap NKRI dan Pancasila. "Jadi problemnya di sini adalah bagaimana kita menampilkan keseimbangan antara Islam yang penuh cinta damai dengan Islam yang memang ada ajaran perang di sana," kata Jejen.
Selain memindahkan materi khilafah, Kementerian Agama juga melakukan penyesuaian dalam materi pelajaran tentang jihad. Materi Jihad kedepannya tidak semata membahas perkembangan perjuangan Islam sejak zaman Nabi, Khulafaurrosidin, sampai ulama, tapi juga tentang dinamika jihad kontemporer.
"Perlu dipahami jihad dan perang di era saat ini bukan lagi fisik, tapi bagaimana kita mampu produktif dan inovatif dalam menjawab problem-problem keagamaan dan kebangsaan," ujar Jejen.
Jadi, lanjut dia, kalau ada problem di dalam pemerintahan, solusinya bukan dengan cara berperang atau mengganti sistem demokrasi dengan sistem khilafah. "Jadi penting menampilkan wajah Islam yang tidak seolah-olah perang sebagai solusi, tapi bagaimana menampilkan Rasulullah dan sahabatnya dalam aspek lainnya, konteks misalnya kesungguhan mencari ilmu atau membangun peradaban," jelas Jejen.