REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chief Economist dari The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip menyarankan BI untuk bisa menyeimbangkan kebijakan antara pro pertumbuhan ekonomi dan pro stabilitas. Tingkat suku bunga acuan perlu dipertahankan pada level yang proporsional agar terjadi keseimbangan dalam ekonomi domestik.
Sunarsip mengatakan, level suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate yang saat ini sebesar 5 persen sudah cukup proporsional. Ia menyarankan agar BI tak lagi menurunkan suku bunga acuan karena bakal berdampak pada persepsi investor dunia yang menanamkan dananya di Indonesia.
"Menurut saya 5 persen itu angka yang cukup proporsional kalau kita melihat dinamika dunia sekarang. Ini demi menjaga reputasi kita dari para pelaku ekonomi," kata Sunarsip akhir pekan lalu.
Menurut dia, jika suku bunga acuan turun lagi hingga ke bawah 5 persen, maka berpotensi menyebabkan capital outflow atau keluarnya dana asing. Sebab, suku bunga yang rendah tak lagi membuat investor tertarik menanamkan uangnya di Indonesia dalam bentuk rupiah.
Jika itu terjadi, dikhawatirkan mata uang rupiah bisa terguncang hingga berimbas pada pelemahan. Meskipun, rata-rata bank sentral di dunia tengah berlomba menurunkan suku bunga acuannya, otoritas moneter di Indonesia tetap harus memiliki pendirian. Penurunan suku bunga acuan yang terlalu drastis justru bakal berdampak negatif.
"Kita harus hati-hati terutama Bank Indonesia. Harus meramu kebijakan moneter antar pertumbuhan dan stabilitasi nilai tukar rupiah," kata dia.
Sebagaimana diketahui, BI mulai menurunkan suku bunga acuannya secara agresif sejak bulan Juli lalu, dari semula 6 persen menjadi 5 persen saat ini. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) November lalu, BI memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5 persen.
Kebijakan tersebut konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali dalam kisaran target, stabilitas eksternal yang terjaga, serta dinilai masih akomodatif untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik.