Selasa 10 Dec 2019 15:41 WIB

Duterte Cabut Darurat Militer di Mindanao

Duterte mendeklarasikan darurat militer di Mindanao pada 23 Mei 2017.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Duterte Cabut Darurat Militer di Mindanao. Foto ilustrasi tentara Filipina di Marawi, Mindanao.
Foto: Reuters
Duterte Cabut Darurat Militer di Mindanao. Foto ilustrasi tentara Filipina di Marawi, Mindanao.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte akan mencabut status darurat militer di Mindanao pada akhir tahun ini. Juru bicara presiden mengumumkan berakhirnya perintah kontroversial yang dirilis pada Mei 2017 tentang menempatkan seluruh pulau selatan di bawah kendali militer, Selasa (10/12).

"Kantor Presiden ingin mengumumkan Presiden Rodrigo Roa Duterte tidak akan memperpanjang darurat militer di Mindanao setelah berakhir pada 31 Desember 2019," kata Salvador Panelo dalam sebuah pernyataan dikutip dari Aljazirah.

Baca Juga

Panelo mengatakan, keputusan itu dibuat berdasarkan saran dari pejabat keamanan dan militer. Pada 4 Desember lalu, Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana mengatakan dalam sebuah forum media dia merekomendasikan agar perintah presiden dicabut.

Duterte mendeklarasikan darurat militer di Mindanao pada 23 Mei 2017, setelah ratusan anggota dari kelompok bersenjata Maute dan Abu Sayyaf mengepung kota selatan Marawi. Perintah itu awalnya berlangsung selama 60 hari dan diperpanjang hingga akhir 2017.

Namun, status di bawah kendali militer diperbarui hingga akhir 2018. Sampai tenggat waktu itu, nyatanya tidak cukup dan kembali diperpajang hingga akhir 2019 melihat kekhawatiran keamanan yang terus berlanjut. Deklarasi dan perpanjangannya disetujui oleh Kongres Filipina yang didominasi oleh sekutu Duterte.

Sementara pertempuran terbatas pada Marawi, perintah Duterte meliputi seluruh pulau yang merupakan rumah bagi sekitar 20 juta orang. Para kritikus mempertanyakan legalitas perintah Duterte, tetapi Mahkamah Agung membantahnya dengan mengatakan perlunya memadamkan pemberontakan bersenjata yang berlangsung selama lima bulan.

Pertempuran untuk Marawi menewaskan lebih dari 1.000 orang dan mengungsikan sebanyak 600 ribu orang. Pengepungan berakhir pada Oktober 2017.

Meskipun darurat militer, kritikus mengatakan Duterte gagal menghentikan serangan bersenjata di selatan. Salah satu serangan tersebut termasuk pemboman Gereja Katolik Roma di Jolo, Sulu, yang menewaskan sedikitnya 20 orang tewas pada Januari 2019.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement