REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kebijakan penghapusan menteri soal khilafah dan perang dari kurikulum dan ujian di madrasah oleh Kementerian Agama (Kemenag) masih menuai pro dan kontra. Rektor UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta, Yudian Wahyudi mengaku setuju dengan hal tersebut.
Menurutnya, materi tersebut harus disesuaikan dengan kondisi saat ini atau perkembangan zaman. Untuk itu, ia mengatakan, penafsiran khilafah tersebut perlu untuk diganti.
"Saya setuju, cuma diperhalus, diganti penafsirannya. Alquran tidak pernah menyebut ada khilafah. Yang ada orangnya khalifah. Jadi dijelaskan kata khalifah itu apa," kata Yudian di UIN Suka Yogyakarta, Selasa (10/12).
Ia mengatakan, kebijakan tersebut bukan sebagai upaya untuk menghapus sejarah Islam. Namun sebagai reinterpretasi dari khilafah dan perang tersebut yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.
"Harus sesuai dengan zaman. Paling tidak nanti diterjemahkan kata 'Aku akan mengangkat khalifah di muka bumi' itu di Al-Baqarah:30 diterjemahkan dengan bahasa konstitusi," ujarnya.
Sebelumnya, seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan perang atau jihad telah diperintahkan untuk ditarik dan diganti. Hal ini sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI.
Menteri Agama, Fachrul Razi mengatakan, telah mendengar penolakan dari berbagai kalangan terkait kebijakan tersebut. Terkait hal itu, ia mengatakan, persoalan tersebut akan dibahas kembali.
Ia mengindikasikan, persoalan khilafah dan perang yang diajarkan di kurikulum terdahulu sebenarnya tak bermasalah. Kendati demikian, ada pengajar yang menyimpangkan materi tersebut.
“(Soal khilafah) di sejarah Islam kan itu ada. Pengalaman lalu, ndak tahu kesalahannya di mana, yang pengajarnya justru yang menyimpang ke mana-mana, mengampanyekan khilafah. Kalau di sejarah Islam, kan pasti ada," ujar Fachrul di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (9/12).