REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- India mengambil langkah besar dalam agenda nasionalis Hindu di bawah Perdana Menteri Narendra Modi. Pemerintah India mengeluarkan Rancangan Undang-undang (RUU) Kewarganegaraan, yang akan memberikan status kewarganegaraan bagi para migran dari semua agama besar di Asia Selatan, kecuali Islam.
RUU yang didorong oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa itu akan memberikan status kewarganegaraan terhadap pemeluk dari enam kelompok agama yang datang ke India dari Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan sebelum 31 Desember 2014. Agama tersebut yakni Hindu, Sikh, Kristen, Jain, Parsis dan Buddha. Pemerintah berdalih, hal itu bertujuan memberikan perlindungan kepada minoritas yang melarikan diri dari penganiayaan agama di negara-negara tersebut.
RUU ini telah disahkan di majelis rendah parlemen (Lok Sabha), Selasa (10/12) dini hari waktu setempat setelah beberapa jam perdebatan. Selanjutnya, RUU ini akan memerlukan persetujuan di majelis tinggi parlemen (Rajya Sabha) untuk menjadi sebuah undang-undang.
RUU ini sempat ditunda selama masa jabatan sebelumnya karena tidak memiliki suara mayoritas di majelis tinggi parlemen. Namun, Modi tampaknya cukup optimis RUU ini bakal lolos di majelis tinggi mengingat menurut sebagian besar analis mereka memiliki cukup sekutu dari partai lain.
Dengan tidak menyebutkan agama Islam dalam RUU ini, langkah ini tentu membuat Muslim India sangat gelisah. Sebab, langkah itu dinilai akan memarginalisasi umat Islam. RUU Amandemen Kewarganegaraan ini dinilai sebagai langkah pertama partai berkuasa di India yang akan menjadikan 200 juta Muslim India sebagai warga kelas dua dan membuat banyak dari mereka tanpa kewarganegaraan. Muslim India adalah salah satu populasi Muslim terbesar di dunia.
Seorang anggota parlemen Muslim, Asaduddin Owaisi, merasa geram dengan RUU tersebut. Saat memberikan pidato di parlemen pada Senin (9/12), ia secara dramatis merobek salinan RUU tersebut.
"Kami menuju totaliterisme, sebuah negara fasis. Kami menjadikan India sebagai negara teokratis," kata Owaisi, dilansir di The New York Times, Selasa (10/12).
Para kritikus RUU itu menyatakan, RUU ini sebagai bagian dari kampanye mengidentifikasi dan mendeportasi Muslim yang telah tinggal di India selama bertahun-tahun. Ia menjabarkan jalur menuju kewarganegaraan India bagi para migran dari Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan jika mereka dapat membuktikan bahwa mereka telah berada di India setidaknya selama lima tahun.
RUU ini berjalan seiring dengan program yang diperdebatkan yang telah dimulai di negara bagian timur laut India, Assam, tahun ini. Sekitar 33 juta penduduk di negara bagian itu harus membuktikan, dengan bukti dokumenter, bahwa mereka atau leluhur mereka adalah warga India.
Faktanya, sekitar dua juta orang atau banyak dari warga di sana adalah Muslim. Banyak dari mereka adalah penduduk seumur hidup India. Namun, mereka terancam ditinggalkan dari daftar kewarganegaraan di negara bagian Assam setelah melewati tes kewarganegaraan tersebut.
Assam telah menyaksikan gelombang migrasi selama bertahun-tahun. Banyak dari warga di sana yang kewarganegaraannya setelah diperiksa adalah migran, baik itu Hindu maupun Muslim. Para migran di Assam ini datang dari negara tetangga Bangladesh. Dengan adanya RUU tersebut, kemungkinan besar orang Bengali Hindu akan menjadi warga India dan dapat memperoleh tanah secara sah di Assam.
Selanjutnya, BJP berharap akan memperluas tes kewarganegaraan semacam itu ke negara bagian lainnya. Undang-undang baru ini akan menjadi prinsip panduan bagi siapa saja yang bisa berharap menyebut diri mereka orang India.
Menteri Dalam Negeri India, Amit Shah, mengatakan akan memaksakan tes kewarganegaraan di Assam itu ke seluruh negeri. Ia berjanji melindungi orang-orang Hindu dan non-Muslim lainnya. Shah juga menyebut para migran ilegal dari Bangladesh sebagai 'rayap' dan Muslim adalah targetnya.
Langkah yang dilakukan pemerintahan Modi ini tidak lepas dari akar ideologi partainya yang melihat India sebagai negara Hindu. Sejak kemenangan besar BJP dalam pemilihan Mei lalu, pemerintahan Modi merayakan beberapa kemenangan untuk kalangan nasionalis Hindu.
Pertama, tes kewarganegaraan di Assam. Kemudian, India mencabut otonomi khusus terhadap wilayah Kashmir dan undang-undang kewarganegaraan terpisah untuk Jammu dan Kashmir yang dikelola India. Kashmir merupakan satu-satunya negara bagian dengan mayoritas Muslim di India.
Bulan lalu, kelompok fundamentalis Hindu India mencetak kemenangan setelah pengadilan tinggi menyerahkan situs Masjid Babri di Ayodhya kepada umat Hindu.
Dengan RUU Kewarganegaraan yang baru, BJP berdalih mereka hanya berupaya melindungi umat Hindu, Buddha dan Kristen yang dianiaya (dan anggota dari beberapa agama kecil) yang bermigrasi dari negara-negara mayoritas Muslim. Akan tetapi, di sisi lain, undang-undang itu juga akan memudahkan untuk memenjarakan dan mendeportasi penduduk Muslim. Bahkan, mereka yang keluarganya telah berada di India selama beberapa generasi dapat terkena dampaknya, jika mereka tidak dapat menunjukkan bukti kewarganegaraan.
Di bawah kepemimpinan Modi, sentimen anti-Muslim menjadi lebih umum. Intimidasi dan serangan terhadap komunitas Muslim disebut telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, kesalehan dan nasionalisme Hindu lah yang justru ditonjolkan ke permukaan.
Jiwa nasionalisme Hindu telah mengakar kuat pada warga Hindu India. Salah satunya, anggota parlemen di BJP yang merasa tidak menyesal tentang posisi pro-Hindu mereka.
"Ada negara-negara Muslim, ada negara-negara Yahudi, semua orang memiliki identitas mereka sendiri. Dan kita adalah satu miliar lebih, kan? Kita harus memiliki satu identitas," kata Ravi Kishan, aktor terkenal dan anggota Parlemen yang merupakan pendukung utama legislasi kewarganegaraan.
Ketika ditanya apakah dia mencoba mengubah India menjadi negara Hindu, dia justru tertawa. "India selalu menjadi negara Hindu. Orang-orang Muslim juga beragama Hindu," ujarnya.