REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai politik menjanjikan lebih selektif untuk mendukung atau mengusung calon kepala daerah pada Pilkada 2020 mendatang. Parpol mengaku tak ingin kecolongan dengan mengusung atau mendukung mantan terpidana kasus korupsi sebagai calon kepala daerah.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menegaskan, partai berlambang Ka'bah itu tidak akan mengusung koruptor, meskipun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tidak memuat larangan koruptor menjadi calon kepala daerah. Menurut PPP, PKPU sudah tepat tidak memasukkan larangan tersebut.
Namun, PPP menjanjikan akan selektif memilih calon yang didukung atau diusung di pilkada nanti. "Kami PPP, saya kira kita akan selektif sekali soal itu," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12).
Ia menambahkan, pemilihan calon yang akan diusung secara selektif sudah dilakukan sejak pendaftaran calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 kemarin. Bahkan, DPP PPP mengaku sudah mengeluarkan instruksi agar pengurus daerah tidak mengusulkan nama koruptor sebagai yang didukung atau diusung.
Meskipun, Arsul mengaku sempat kecolongan akibat rekam jejak calon tidak terdeteksi. "Tapi, secara partai ya kami tidak inginlah seperti itu. Kalau kasus korupsinya kasus korupsi yang berat dan itu merupakan perbuatan yang terulang, kita tidak ingin lah. Kan calon kepala daerah yang lain itu yang baik saja masih banyak," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Hasanuddin Wahid juga menegaskan tak akan memberi peluang eks koruptor menjadi calon kepala daerah dari partainya. Bahkan, Wahid mengatakan intruksi larangan mencalonkan eks koruptor sudah dilakukan sejak pencalonan pada Pileg 2019 kemarin. “Di pencalegan 2019 saja kita sudah menerapkan itu, apalagi di pilkada ke depan,” ujarnya pada Republika.
Ia mengaku, PKB mengincar 75 daerah yang akan menjadi daerah kemenangan pilkada. Sebanyak 75 daerah tersebut, 40 persen berada di Pulau Jawa. “Karena kader dan basis (suara PKB),” ujarnya.
Ketua Desk Pilkada DPP PKB Faisol Reza mengaku, di partainya memang tidak ada aturan atau larangan bagi koruptor untuk maju pada pilkada. Namun, sudah menjadi peraturan tak tertulis bagi DPD dan DPC PKB untuk tak mengusung mereka. "Dalam melakukan proses penyaringan harus dipilih calon yang tepat dan tentunya tidak memiliki cacat moral seperti pernah terlibat kasus korupsi," ujar Faisol lewat pesan singkat, Selasa (10/12).
Ia mengatakan, DPP selalu melakukan sosialisasi ke pengurus daerah agar calon yang didukung PKB memiliki rekam jejak yang baik. “Secara internal dalam setiap acara sosialisasi ke DPW dan DPC, selalu disebutkan bahwa ada rambu-rambu seperti itu (bukan eks koruptor)," ujar Ketua Komisi VI DPR itu.
Boneka Narapidana Koruptor (ilustrasi).
Sementara, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menegaskan komitmennya untuk tak mengusung eks koruptor dalam pilkada. "PKS punya komitmen kalau misalkan ada calon kepala daerah yang terpidana korupsi tentu kita tidak akan mengusung itu," ujar anggota Fraksi PKS di DPR Nasir Djamil, Selasa.
Ia menjelaskan, mengusung mantan terpidana kasus korupsi sangat berisiko bagi partai. Citra partai di masyarakat akan tercoreng jika mengusung mereka.
Meski begitu, PKPU ini dapat menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik. Sebab masyarakat dapat melihat partai mana yang berani mengusung mantan terpidana kasus korupsi. "Jadi, sebenarnya sisi positifnya bahwa kita bisa menguji apakah partai politiik mau dan berani mencalonkan mantan terpidana korupsi," ujar Nasir.
Partai Amanat Nasional (PAN) mengaku masih belum berpikir apakah akan selektif terhadap calon eks koruptor pada pilkada mendatang. Ketua DPP PAN Yandri Susanto mengaku, saat ini, partainya lebih mengutamakan untuk mengusung kader sendiri dalam pilkada.
Namun, PAN mengaku akan menghindari calon eks koruptor untuk diusung. "Jadi, kalau PAN sudah punya mekanisme sendiri. Artinya kalau di daerah itu masih ada pilihan tentu kami akan menghindari calon narapidana," ujar Yandri.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai, jika parpol tetap memaksakan mengusung atau mendukung eks koruptor, justru berdampak pada kredibilitas mereka. Zuhro mengatakan, masyarakat tidak sudah pintar mencari rekam jejak calon yang akan dipilihnya.
"Jangan dibilang bahwa masyarakat itu oportunis semuanya, tidak, mereka juga punya logikanya sendiri dan punya idealismenya tentang atau terkait dengan calon-calon pemimpin itu," kata dia.
Ia mengatakan, jika larangan mantan terpidana korupsi tak dicantumkan dalam PKPU tentang pencalonan pilkada, parpol tetap harus memiliki tanggung jawab mengusung calon yang beretika moral. Parpol seharusnya mempromosikan kader-kader yang mempunyai integritas tinggi, bukan kader yang pernah melanggar tindak pidana.
"Karena bagaimanapun juga calon-calon yang dipromosikan tadi itu mau tidak mau akan membawa bendera partai politik, tidak hanya orang per orang, tapi bendera partai itu dilekatkan pada calon itu," ujarnya. N febrianto adi saputro/nawir arsyad akbar, ed: agus raharjo