REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Agama menyatakan akan memindahkan materi soal khilafah dan jihad dari mata pelajaran fikih ke mata pelajaran sejarah kebudayaan Islam (SKI). Pandangan para guru belum seragam soal hal itu.
Sekretaris Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) SKI, Ahmad Nustain beranggapan, materi khilafah yang dimasukkan ke SKI tidak relevan. Sebab, pada dasarnya, materi tersebut sudah cocok ada di dalam fikih yang diartikan sebagai dasar hukum Islam.
“Kalau menurut saya, metode untuk mengajarkan materi fikih ke SKI itu kurang nyambung,” ujar dia kepada Republika, Selasa (10/12).
Dia mengeklaim, pihaknya juga belum mengetahui rencana perpindahan tersebut. Bahkan, isi dari PMA yang baru juga belum diketahui seutuhnya, karena belum ada sosialisasi.
Namun, jika hal tersebut direalisasi, pihaknya akan melakukan musyawarah dengan setiap guru terkait mata pelajaran itu di lingkup organisasinya. “Kita juga akan rembuk dulu itu (materi) dengan organisasi,” tuturnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh guru SKI kelas IX dari MTs Fatahillah, Jakarta Selatan, Hazana Itriya. Meski tidak menolak secara gamblang. “Di SKI sebenarnya lebih fokus ke sejarah, sedangkan khilafah lebih ke ideologi, jadi ada perbedaan sebetulnya,” kata dia.
Akan tetapi, menurut Hazana, jika materi yang akan diberikan pada mapel SKI tersebut hanya ilmu dan pengetahuan, itu masih bisa diterima. “Asal tidak sebagai doktrinisasi, itu enggak apa-apa sih menurut saya. Tapi tetap, saya sebagai guru SKI harus berkonsultasi lagi ke guru mapel fikih,” tutur dia.
Menurut dia, materi pengajaran terkait khilafah akan disesuaikan dengan cara pengajarannya. Lebih jauh, jika dituntut ada pengembangan dari ilmu itu ia akan menyinggung isu sosial terbaru.
Sedangkan Ketua PB PGRI Supardi menilai, pemberian materi khilafah sebenarnya bisa disesuaikan dengan cara menunjukkan nilai-nilai positif. Guru harus bisa memberikan ilmu yang membuat siswa terdorong menjadi lebih positif, tanpa menghancurkan kesepakatan bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan.
Supardi mencontohkan hal positif yang bisa digali adalah soal tanggung jawab pemimpin. Pada masa itu, para pemimpin sadar bahwa tanggung jawabnya besar. Akhirnya, mereka tidak berlomba-lomba menjadi pemimpin dengan cara yang tidak baik.
Adapun soal kesatuan Indonesia, juga bisa sambil diajarkan agar rasa nasionalisme dan pengetahuan soal sejarah Islam bisa seimbang. "Jadi kalau kontennya menghapus sejarah itu tidak tepat, itu sama saja membuang sejarah generasi muda. Ibaratnya, kita pelajari sejarah Indonesia, dihilangkan G-30-S PKI nanti anak malah tidak paham,\" kata Supardi, ketika dihubungi, Senin (9/12).