REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad al-Thani tidak menghadiri KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) ke-40 di Riyadh, Arab Saudi, yang dihelat pada Selasa (10/12). Ketidakhadirannya memperkecil kemungkinan rekonsiliasi antara Qatar dan beberapa negara Teluk.
Dilaporkan kantor berita Qatar, Qatar News Agency, Syekh Tamim memerintahkan Perdana Menteri Qatar Abdullah bin Nasser bin Khalifa al-Thani untuk memimpin delegasi ke Riyadh. Meskipun Syekh Tamim tak menghadiri KTT GCC ke-40, para analis memperkirakan proses negosiasi untuk mengakhiri keretakan hubungan diplomasi antara Qatar dan beberapa negara Teluk akan terus berlanjut.
"Mengakhiri keretakan Teluk merupakan proses tambahan dari keterlibatan dan dialog daripada sesuatu yang dapat diselesaikan pada satu pertemuan puncak saja," ujar Kristian Ulrichsen dari Baker Institute di Rice University, Amerika Serikat (AS), dikutip laman Aljazirah.
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud sebenarnya telah mengundang Syekh Tamim untuk menghadiri KTT GCC ke-40 di Riyadh. "Emir Syekh Tamim bin Hamad al-Thani menerima pesan tertulis dari Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dari Kerajaan Arab Saudi untuk menghadiri sesi ke-40 Dewan Tertinggi GCC," kata Kementerian Luar Negeri Qatar di situs resminya pada 3 Desember lalu.
Undangan tersebut diterima Menteri Luar Negeri Qatar Syekh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani saat bertemu Sekretaris Jenderal GCC Abdulatif bin Rashid al-Zayani. Namun, Kementerian Luar Negeri Qatar memang tak menerangkan apakah Syekh Tamim akan memenuhi undangan tersebut atau tidak.
Pada akhir Oktober lalu, Emir Kuwait Syekh Sabah al-Ahmad al-Jaber al-Sabah menyerukan agar sengketa diplomatik dengan Qatar segera diakhiri. Menurut Syekh Sabah, perselisihan antara negara-negara tersebut sangat melemahkan persatuan GCC yang beranggotakan Qatar, UEA, Saudi, Oman, Kuwait, dan Bahrain.
“Sangat penting untuk menarik perhatian Anda pada kerusuhan yang melanda wilayah kita yang menimbulkan ancaman dan dampak besar, tidak hanya pada stabilitas dan keamanan kita, tetapi juga generasi mendatang,” kata Syekh Sabah.
Dia mengaku tak dapat menerima perselisihan yang sedang berlangsung di antara negara-negara GCC. “Ini telah melemahkan kemampuan kita dan merusak keuntungan kita,” ujarnya.
Krisis Teluk terjadi pada Juni 2017, yakni ketika Saudi dan sekutunya menuding Qatar mendukung kegiatan terorisme serta ekstremisme di kawasan. Saudi, Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA) kemudian memutuskan hubungan diplomatik dengan Doha. Mereka juga memboikot negara tersebut. Keempat negara mengajukan 12 tuntutan jika Qatar ingin memulihkan hubungannya. Tuntutan itu antara lain meminta Qatar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran dan menutup media Aljazirah.
Qatar telah membantah tudingan yang dilayangkan oleh keempat negara tersebut. Doha pun menolak memenuhi tuntutan Saudi dan sekutunya karena dianggap tak masuk akal. n Kamran Dikarmaed: yeyen rostiyani