REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dijadwalkan membela Myanmar di Pengadilan Dunia pada Rabu (11/12). Saat ini negaranya menghadapi dakwaan pemusnahan suku (genosida) terhadap etnik minoritas Muslim Rohingya.
Gambia, negara kecil di Afrika Barat, telah melancarkan kasus terhadap Myanmar di Mahkamah Pidana Internasional (ICC), pengadilan tertinggi PBB. Gambia menuduh Myanmar telah melanggar Konvensi Jenewa 1948.
Suu Kyi, pemimpin politik tertinggi di Myanmar, mengejutkan pengritik dan menghimpun pendukung di dalam negeri dengan pergi ke Den Haag, Belanda, untuk memimpin delegasi negerinya. Kantornya mengatakan ia akan membela kepentingan nasional.
Suu Kyi mendengarkan dengan tenang pada Selasa (10/12), saat pengacara pihak Gambia merinci kesaksian grafis mengenai penderitaan orang Rohingya di tangan militer Myanmar. Dalam tiga hari proses dengar pendapat pekan ini, para hakim mendengarkan tahap pertama kasus tersebut.
Walaupun Suu Kyi belum mengungkapkan perincian pembelaan pemerintahnya, dia dan tim hukumnya direncanakan menyampaikan pendapat bahwa pengadilan tersebut kekurangan jurisdiksi. Ia juga akan menyatakan pemusnahan suku tidak terjadi di Myanmar.
Gambia telah berargumentasi bahwa berdasarkan Konvensi 1948 setiap negara wajib mencegah terjadinya pemusnahan suku. Gambia mendapat dukungan politik dari Organisasi Kerja Sama Islam serta beberapa negara Barat termasuk Kanada dan Belanda.
Lebih dari 730 ribu orang Rohingya menyelamatkan diri dari Myanmar setelah militer melancarkan penindasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar Barat, pada Agustus 2017. Kebanyakan dari mereka sekarang tinggal di kamp pengungsi padat penghuni di Bangladesh.
Myanmar berargumentasi operasi pembersihan militer di Rakhine adalah reaksi sah untuk menindas terorisme dan tentaranya telah bertindak secara layak. Walaupun misi pencari fakta PBB mendapati bahwa kejahatan besar berdasarkan hukum internasional telah dilakukan di Myanmar dan menyerukan pengadilan pemusnahan suku, tak ada pengadilan yang memiliki bukti yang memberatkan dan menetapkan pemusnahan suku di Myanmar.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan Suu Kyi dapat dengan tegas membantah kejahatan telah terjadi di Myanmar, Menteri Kehakiman Gambia, Abubacarr Tambadou, mengatakan di luar pengadilan pada Senin (9/12) bahwa akan sangat mengecewakan jika Suu Kyi melakukan itu lagi.