REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Yogyakarta Zaenur Rohman menilai, ujaran Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) soal wacana hukuman mati cuma sekadar gimmick. Ujaran itu dinilai tak menunjukkan komitmen pemberantasan korupsi.
"Hukuman mati cuma gimmick presiden untuk meraih dukungan masyarakat yang sangat marah terhadap korupsi. Padahal lembaga pemberantasan korupsinya sendiri dilemahkan," ujar Zaenur saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (11/12).
Apa yang disampaikan Jokowi ini juga dinilai berbanding terbalik dengan praktik. Sebelumnya, Jokowi justru memberikan grasi pada koruptor Annas Maamun, pelaku korupsi alih fungsi lahan di Riau.
Zaenur mengatakan, bila Jokowi memang benar-benar memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi, harusnya Jokowi melakukan langkah yang lebih konkret. Langkah konkret itu misalnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - undang (Perppu) untuk UU KPK terbaru, yang dianggap melemahkan kinerja KPK.
Ia pun menilai, relevansi hukuman mati untuk korupsi bukan hal yang krusial untuk dibahas. "Terlalu jauh panggang dari api. Perdebatan sekarang bukan tentang apakah perlu hukuman mati. Tapi lembaga pemberantasan korupsinya apakah akan dibiarkan mati suri?" ucap Zaenur.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan bahwa para terpidana korupsi bisa saja diberikan hukuman mati, jikalau masyarakat berkehendak. Hal itu disampaikannya tepat pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia.
Jokowi mengatakan, saat ini undang-undang yang mengatur soal hukuman mati belum ada yang memberikan sanksi hukuman mati kepada para terpidana pelaku korupsi. Sehingga, perlu ada revisi soal UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dibahas bersama DPR.
"Itu yang pertama kehendak masyarakat. Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana, UU Tipikor itu dimasukkan," ujar Jokowi.