REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, penerimaan pajak perikanan sampai November 2019 sudah mencapai Rp 1,7 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan realisasi sepanjang 2018 yang mencapai Rp 1,6 triliun. Angka tersebut diperkirakan terus naik hingga akhir tahun, meski tidak secara signifikan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar mengatakan, upaya peningkatan pajak perikanan terus dilakukan. Salah satunya dilakukan melalui kemudahan proses perizinan dan pelaporan dari yang membutuhkan waktu bulanan menjadi satu hari.
"Bulan ini simulasi terakhir, diperkirakan awal tahun depan sudah dapat direalisasikan," ujarnya ketika ditemui di acara Workshop Perikanan Berkelanjutan di Badung, Bali, Rabu (11/12).
Zulficar menyebutkan, perizinan menjadi kunci utama dalam peningkatan penerimaan pajak. Apabila pelaku usaha merasa kesulitan mendapatkan perizinan, mereka akan memilih untuk melanggar sehingga berpotensi menggerus setoran ke negara. Begitupun dengan proses pelaporan dari industri ke pemerintah.
Pelanggaran perizinan menimbulkan kerugian yang tidak kecil. Zulficar mencatat, sepanjang 2018, potensi kerugian negara akibat penyalahgunaan perizinan mencapai 2,8 juta dolar AS atau sekitar Rp 39,2 triliun. Angka ini didapatkan berdasarkan evaluasi perizinan yang dibandingkan dari informasi pelabuhan, cek produktivitas hingga melakukan kajian bersama para akademisi.
Zulficar menjelaskan, sepanjang 2018 itu, sebanyak 1,4 juta ton ikan tangkapan tidak dilaporkan oleh nelayan kepada pemerintah. Misal, nelayan hanya melaporkan tangkapan 10 ton per tahun, padahal realisasinya mencapai 500 hingga 800 ton per tahun.
"Anggap saja satu ton ikan senilai 2 dolar AS, kerugian yang ditanggung negara sudah besar sekali," tuturnya.
Tidak hanya dari segi pelaporan tangkapan, Zulficar menambahkan, pembenahan juga perlu dilakukan pada laporan ukuran kapal. Ia menyebutkan, saat ini, ada 10 ribu kapal di daerah yang statusnya mengalami mark down atau penurunan kapasitas dalam laporan. Dampaknya, kapal besar yang seharusnya tidak mendapatkan subsidi justru mengambil subsidi dengan cara ini.
Selain itu, terdapat 2.180 kapal ikan dengan izin yang sudah expired atau kerap disebut kapal bodong. Nelayan tetap memaksakan kapal mereka untuk berlayar di tengah kondisi perizinan yang sudah lewat batas dua hingga empat tahun.
Lebih dari seribu kapal juga dibuat tanpa Persetujuan Pengadaan Kapal Perikanan (P2KP) dari KKP. Dokumen itu dibutuhkan untuk mereka yang ingin membangun kapal. "Ini indikator yang cukup merugikan negara dari sektor perikanan," kata Zulficar.