REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memuji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hak politik mantan narapidana korupsi. Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, putusan tersebut punya semangat pencegahan dan perlawanan terhadap koruptor. Putusan MK tersebut, KPK nilai baik untuk regenerasi di partai politik (parpol).
“Jadi kita terima kasih (kepada MK). Saya pikir itu putusan MK yang bagus. Saya pikir juga itu akan lebih bagus untuk peningkatan kualitas tata kelola partai politik,” kata Laode di Jakarta, Rabu (11/12).
Laode pun memuji putusan MK, sebagai langkah memberikan dampak khusus kepada parpol untuk tak mengusung nama-nama yang pernah dihukum karena korupsi dalam pilkada.
MK pada Rabu (11/12) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang (UU) 10/2016 tentang Pilkada. Ringkasnya isi beleid tersebut menyatakan, calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana, atau mantan terpidana yang telah mengumumkan latar belakangnya sebagai terpidana.
Namun Majelis Konstitusi dalam putusannya mengatakan, aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, karena tak memiliki aturan yang mengikat dan bersyarat.
MK dalam putusannya, pun mengubah bunyi Pasal ayat (2) huruf g UU Pilkada 2016. Isinya, menebalkan dua syarat yang mengikat tentang calon kepala daerah. Yaitu, tak pernah sebagai narapidana dari kejahatan yang diancam penjara selama lima tahun. MK juga, menebalkan syarat jangka waktu kepada para mantan terpidana yang dicalonkan setelah lima tahun melewati masa penjaranya.
Putusan MK tersebut, memang tak spesifik menyinggung soal mantan narapidana korupsi. Akan tetapi, ancaman pidana bagi para pelaku korupsi minimalnya lima tahun.
Selama ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, kerap meminta adanya pidana tambahan penghilangan hak politik terpidana korupsi. Meskipun tuntutan JPU KPK tak punya pijakan dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pun KUHP.
Namun Majelis Hakim Tipikor dalam setiap keputusan bersalah kerap mengabulkan tuntutan JPU KPK tentang hukuman tambahan berupa penghilangan hak politik para terpidana korupsi selepas menjalani penjara pokok.
Terkait putusan MK, sebetulnya tuntutan para pemohon Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) menghendaki Majelis Konstitusi melarang pencalonan mantan narapidana dalam pilkada, selama 10 tahun.
Akan tetapi dalam penjelasannya, MK mengatakan, pencabutan hak politik selama lima tahun selepas masa penjara, dianggap wajar dan sesuai dengan mekanisme pemilihan umum yang dilakukan lima tahunan sekali.
Namun, Laode melanjutkan, putusan MK tersebut, tetap punya makna yang baik untuk memberikan batasan tegas terhadap para pelaku korupsi dalam kontestasi kepemimpinan di daerah.
“Itu (putusan MK) harus kita hargai dan kita sambut dengan baik,” sambung Laode.
Putusan MK ini, pun menjadi penambal potensi pencalonan mantan terpidana korupsi dalam pilkda, yang belakangan tak dilarang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 18/2019.