REPUBLIKA.CO.ID, MADRID -- Pegiat iklim Greta Thunberg menuduh para pemimpin di bidang politik dan usaha sibuk memoles citra mereka alih-alih mengambil langkah agresif dalam memerangi perubahan iklim.
"Sepertinya ini telah menjadi semacam kesempatan bagi negara-negara untuk menegosiasikan celah dan menghindar dari kesempatan untuk meningkatkan ambisi," kata aktivis asal Swedia tersebut dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rabu (11/12).
Pernyataan perempuan berusia 16 tahun itu mengundang tepuk tangan dari hadirin. "Saya percaya bahaya yang terbesar bukanlah kelambanan. Bahaya yang sesungguhnya muncul ketika para politikus dan pimpinan perusahaan membuat seolah-olah ada tindakan nyata yang diambil, ketika sebenarnya hampir tidak ada yang dilakukan selain akuntansi yang cerdas dan komunikasi kreatif," ujar Thunberg.
Politikus di Madrid sedang bergulat dengan isu-isu luar biasa dalam implementasi Perjanjian Paris 2015. Pertemuan itu bertujuan mencegah bencana pemanasan global, termasuk isu yang tajam tentang penghitungan emisi karbon.
Banyak negara dan perusahaan bergantung pada ide perdagangan karbon untuk memangkas produksi gas rumah kaca dan membantu membatasi kenaikan suhu antara 1,5-2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Para pendukung perdagangan karbon mengatakan mereka dapat menurunkan biaya pengurangan emisi dan memungkinkan negara untuk berkomitmen pada target yang lebih ambisius.
Sementara pihak-pihak lain melihat langkah tersebut sebagai cara menunda adanya tindakan yang lebih agresif untuk mengurangi emisi. Thunberg mengatakan banyak pihak berjanji menyeimbangkan emisi dengan cara tersebut, namun mereka tak memasukkan dampak dari pelayaran, penerbangan dan perdagangan internasional. Dia pun mendesak agar ada aksi yang diambil lebih cepat.
"Angka nol dalam emisi di 2050 tak berarti apa pun apabila emisi yang tinggi terus berlanjut dalam beberapa tahun ke depan. Untuk bertahan di bawah 1,5 derajat, kita harus menjaga karbon di dalam tanah," kata Thunberg yang telah menjadi simbol kemarahan anak muda terhadap generasi yang lebih tua.