Kamis 12 Dec 2019 14:56 WIB

KPU Segera Sesuaikan PKPU dengan Putusan MK

KPU menyambut baik putusan MK.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Hafil
KPU Segera Sesuaikan PKPU dengan Putusan MK. Foto: Logo KPU
Foto: beritaonline.co.cc
KPU Segera Sesuaikan PKPU dengan Putusan MK. Foto: Logo KPU

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Evi Novida Ginting Manik, menyebutkan, pihaknya akan mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terkait dengan syarat calon peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ia mengatakan, KPU akan melakukan revisi terkait syarat tersebut yang ada di dalam Peraturan KPU (PKPU).

"Pada intinya KPU akan mempelajari putusan MK dan tentu saja akan melakukan revisi terhadap syarat calon yang telah diatur dalam PKPU 18/19," ungkap Evi saat dihubungi, Kamis (12/12).

Baca Juga

Evi menjelaskan, saat ini pengaturan terkait pencalonan mantan narapidana korupsi berada di pasal yang berkaitan dengan syarat pencalonan dalam Undang-Undang (UU) Pilkada. Karena itu, KPU perlu melakukan merevisi beberapa pasal yang berkaitan dengan pemenuhan syarat pencalonan dan syarat calon pada PKPU.

"Ya, tidak (sulit penerapannya). Kita akan masukkan dalam syarat calon. Kemarin kita tuangkan itu di syarat pencalonan, jadi nanti kita akan lakukan revisi untuk menuangkannya dalam syarat calon," katanya.

Menurut Evi, terkait aturan mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik sebenarnya sudah masuk ke dalam PKPU yang ada saat ini. Demikian juga dengan bukti-bukti pemenuhan yang arus diserahkan oleh pasangan calon. Karena itu, KPU hanya perlu melakukan penyesuaian dalam merevisi PKPU.

"Sudah kita atur. Tinggal ini penyeseuaian untuk revisi untuk memasukkan jeda yang lima tahun itu kembali," jelas dia.

Evi menyebutkan, pihaknya menyambut baik putusan MK yang diucapkan sebelum dimulainya tahap pendaftaran untuk Pilkada 2020. Dengan begitu, KPU dapat melakukan koreksi dan sosialisasi lebih cepat sebelum masuk ke dalam tahapan tersebut.

"Iya (jadi cara untuk mencegah koruptor ikut Pilkada). Jadi kan karena diberikan waktu lima tahun itu kan, jadi dia harus, kalau saya baca sedikit, kembali ke masyarakat karena sudah beradaptasi, itu kan pertimbangan MK," terangnya.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU No. 10/2016 tentang Pilkada terkait masa tunggu bagi mantan terpidana maju pilkada. MK memutuskan, mantan terpidana termasuk kasus korupsi baru boleh maju pilkada jika telah melewati masa tunggu selama lima tahun sejak selesai menjalani hukuman penjara.

"Amar putusan, mengadili dalam provisi, mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (11/12).

Para pemohon perkara ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan nomor perkara 56/PUU-XVII/2019. Keduanya meminta MK memutuskan ada jeda bagi mantan terpidana, khususnya korupsi yang ingin maju pilkada yakni selama 10 tahun usai menjalani pidana pokok.

Namun, MK tak mengabulkan usulan masa jeda 10 tahun karena tak beralasan menurut hukum. MK kemudian memutuskan bagi mantan terpidana kecuali terhadap pidana kealfaan dan tindak pidana politik yang mencalonkan diri di pilkada telah melewati jangka waktu lima tahun setelah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sehingga, MK memutuskan perubahan bunyi pada Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang dipaparkan Hakim Anwar dalam amar putusannya. "Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut,"

"(g) 1. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa,"

"2. Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Dan 3. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang," tutur Anwar.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement