Jumat 13 Dec 2019 06:05 WIB

Suu Kyi tak Sebut Kata Rohingya di Pengadilan Internasional

Selama persidangan dan berbicara di pengadilan, Suu Kyi tak sebut kata Rohingya

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi di hadapan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, Selasa (10/12). Selama persidangan dan berbicara di pengadilan, Suu Kyi tak sebut kata Rohingya. Ilustrasi.
Foto: EPA
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi di hadapan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, Selasa (10/12). Selama persidangan dan berbicara di pengadilan, Suu Kyi tak sebut kata Rohingya. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi telah memimpin delegasi negaranya menghadiri sidang dugaan genosida terhadap etnis Rohingya di Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda. Sidang berlangsung selama tiga hari yakni pada 10-12 Desember. Namun selama mengikuti persidangan dan berbicara di ICJ, Suu Kyi sama sekali menghindari penggunaan kata 'Rohingya'.

Dalam sidang tersebut, Suu Kyi membela militer Myanmar dari tuduhan genosida terhadap orang-orang Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada Agustus 2017. Dia mengatakan wilayah tersebut memang dibekap ketegangan karena konflik internal.

Baca Juga

Kata Rohingya hanya dia ucapkan saat menyebut Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). ARSA adalah kelompok gerilyawan yang sempat melancarkan serangan terhadap sejumlah kantor polisi di Rakhine pada Agustus 2017.

Pada Rabu (11/12), misalnya, Suu Kyi sempat berpidato. Terdapat 3.379 kata dalam naskah pidatonya. Namun tak ada satu pun kata 'Rohingya' yang digunakan untuk menggambarkan mereka sebagai kelompok etnis minoritas di Myanmar. Dia memakai kata 'Muslim', 'warga sipil', dan 'anggota komunitas Rakhine' untuk merepresentasikan Rohingya. Tak digunakannya kata 'Rohingya' telah menimbulkan dugaan bahwa Myanmar memang berupaya menghapus identitas dan hak dari kelompok minoritas tersebut.

 

"Adalah rutin bagi Rohingya untuk dipanggil orang Benggala dan bahkan digambarkan sebagai Kalars, cercaan yang merujuk pada kulit mereka yang lebih gelap, untuk menyangkal bahwa mereka adalah penduduk asli Rakhine," ujar Kaamil Ahmed, seorang jurnalis yang telah melaporkan tentang Rohingya dan sedang menulis buku tentang etnis minoritas tersebut dikutip laman Aljazirah.

Menurut Ahmed, Suu Kyi memang tak menggunakan istilah Benggala atau Kalars. Akan tetapi dia telah menyarankan bahwa Rohingya bukan bagian dari Myanmar.

"Dia telah menolak untuk memanggil mereka Rohingya, bahkan mengklaim itu istilah polarisasi. Itu semua adalah bagian dari penyangkalan bahwa mereka asli, bahwa mereka memiliki hubungan historis dengan tanah tempat mereka tinggal," ucapnya.

Aktivis Rohingya yang berbasis di Yangon, Wai Wai Nu, turut mengomentari penghindaran penggunaan istilah 'Rohingya' oleh Suu Kyi selama mengikuti persidangan ICJ. "Menolak untuk menggunakan istilah Rohingya berarti dia masih tidak mengakui akar penyebab tuduhan genosida. Sebaliknya dia terus melakukan kebijakan genosida," kata dia.

Menurutnya, sikap Suu Kyi telah menunjukkan bahwa dia tak memiliki keinginan untuk memulihkan hak-hak orang-orang Rohingya yang setara di Myanmar. "Penolakan terhadap keberadaan kami dan nama etnis lainnya adalah faktor mendasar untuk menghancurkan kelompok etnis kami secara fisik dan mental," ujar Wai Wai Nu.

Pendiri Free Rohingya Coalition Ro Nya San Lwin mengungkapkan Suu Kyi sebenarnya telah menggunakan kata 'Rohingya' untuk merujuk sebuah kelompok etnis minoritas di Myanmar. "Dia telah memanggil kami Rohingya di masa lalu, sampai sebelum pemilu 2015," ucapnya.

Namun setelah mulai menjabat, Suu Kyi menolak menggunakan kata 'Rohingya'. "Dia mendesak pemerintahannya untuk tidak menggunakan Rohingya atau Bengali, tapi menggunakan 'Muslim dari Negara Bagian Rakhine'," ujar Ro Nya San Lwin.

Menurutnya menolak menggunakan kata Rohingya merupakan bagian dari genosida. "Ini adalah hal yang sama yang dia (Suu Kyi) lakukan di pengadilan (ICJ) kemarin. Menyebut kami Muslim tidak benar, karena itu identitas agama. Di negara kami, Myanmar, identitas etnis adalah yang paling penting," ucapnya.

Sebab agama adalah kepercayaan pribadi. "Saya akan memanggilnya (Suu Kyi) sekarang sebagai penyangkal genosida. Dia telah secara resmi membantah genosida. Dia telah menolak genosida," kata Ro Nya San Lwin.

Dia berpendapat sikap Suu Kyi akan diingat sejarah dunia. "Ini adalah pertama kalinya peraih Nobel Perdamaian membela genosida di pengadilan tertinggi dunia," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement