Jumat 13 Dec 2019 08:12 WIB

Efek Jera Hilang Jika Koruptor Bisa Ikut Pilkada

Pengamat menilai efek jera akan hilang jika koruptor bisa ikut pilkada

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Baju koruptor tahanan KPK. Pengamat menilai efek jera akan hilang jika koruptor bisa ikut pilkada. (ilustrasi).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Baju koruptor tahanan KPK. Pengamat menilai efek jera akan hilang jika koruptor bisa ikut pilkada. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait terpidana koruptor boleh ikut pemilihan kepala daerah (pilkada) menuai kritik dari pengamat politik Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Budi Suryadi. Budi menilai efek jera terhadap hukuman seorang pelaku korupsi dipastikan hilang lantaran tidak terlalu berpengaruh dalam panggung politik seorang terpidana koruptor.

"Saya tidak setuju dan menentang keras putusan MK ini karena suatu kemunduran bagi bangsa Indonesia dalam semangat antikorupsi," kata Budi di Banjarmasin, Kamis (12/12).

Baca Juga

Dosen Program Studi Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ULM ini mengutarakan, ketika seorang koruptor ditolak ikut pilkada bukan berarti mereka tidak memiliki hak atau melanggar HAM (hak asasi manusia). Namun menurutnya, harus berbeda cara memahaminya.

Menurut dia, mestinya dipahami bahwa ketidakbolehan terpidana kasus korupsi ikut pilkada karena sebagai lanjutan sanksi atas perilaku korup mereka. Dengan demikian efek jeranya makin kuat bagi yang belum berperilaku korup.

Apalagi, menurut Budi, pilkada berkaitan dengan ranah kebijakan politik. Seorang koruptor tidak akan banyak mampu berkembang karena punya sisi yang melemahkannya dalam daya tawar politik. Ini akan berimbas pada kesejahteraan rakyat daerah yang akan lebih jadi marginal dalam bargaining politik tersebut.

"Saya melihat potensinya masih ada keikutsertaan para terpidana korupsi ikut pilkada tahun depan karena belum ada kebijakan politik yang pasti tentang pelarangan mereka ini," ujar Budi yang juga Ketua Pusat Studi ASEAN ULM.

Ia pun berhara, pilkada di Kalimantan Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat lebih memberikan pelajaran politik bagi generasi politik akan datang dibandingkan hanya unjuk kekuatan orang kuat lokal di setiap daerah. MK mengabulkan permohonan gugatan untuk sebagian Undang-Undang Pilkada.

MK memutuskan melakukan pengubahan bunyi pasal 7 ayat 2 huruf g. Disebutkan, pencalonan dapat dilakukan bagi mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement