REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sejumlah orang berkumpul selama tiga malam terakhir di sebuah taman kecil di pusat ibu kota Myanmar, Yangon. Mereka berkumpul untuk menyaksikan sidang di pengadian internasional di Den Haag atas tuduhan genosida terhadap etnis Rohingya.
Pengemudi truk, pengendara sepeda, staf pemerintah, biarawan dan biarawati, berkumpul di depan sebuah layar besar di luar balai kota untuk menyaksikan sidang tersebut. Beberapa orang dari mereka menyuarakan dukungan kepada peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, yang memberikan pernyataan di sidang itu.
“Saya datang ke sini setiap hari untuk menyaksikan persidangan,” kata U Chaw, seorang staf kota berusia 62 tahun yang mengenakan seragam biru.
Pada Selasa, tim hukum Gambia menguraikan kesaksian tentang dugaan operasi berdarah oleh tentara Myanmar, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran ratusan desa. Penyelidik PBB memperkirakan 10 ribu orang telah terbunuh. Kemudian, pada Kamis, mereka menunjukkan gambar 10 jenazah warga Rohingya yang terbunuh di desa Inn Din.
Ketika foto-foto itu muncul, U Chaw mengatakan dia belum pernah melihatnya. Namun dia percaya media asing yang didanai oleh kelompok-kelompok Islam telah menyebarkan informasi palsu.
"Saya sangat senang bahwa Daw Suu (Aung San Suu Kyi) pergi ke sana dan mengambil kesempatan untuk mengatakan kebenaran kepada dunia," kata U Chaw.
Seorang sopir truk, Kyaw Htike mengatakan, dia percaya warga Rohingya yang tewas oleh militer di Rakhine jumlahnya kecil. Dia mengaku telah melewati wilayah barat, yang berbatasan dengan Bangladesh. “Ada terlalu banyak hal kejam yang mereka lakukan. Bunda Suu sekarang menderita di pengadilan internasional," kata Kyaw Htike.
Kehadiran Suu Kyi dalam audiensi tuduhan genosida terhadap etnis Rohingya secara pribadi telah mempertaruhkan reputasi internasionalnya. Suu Kyi telah lama dikenal oleh dunia internasional sebagai pejuang hak asasi manusia dan demokrasi. Dia merupakan tahanan politik dan menjalani tahanan rumah selama 15 tahun, karena penentangannya terhadap junta militer Myanmar yang pada saat itu berkuasa.
Sikap Suu Kyi terhadap masalah Rohingya telah menuai kritik keras. Bahkan ada seruan kepada komite Nobel untuk mencabut penghargaan Nobel Perdamaian yang diberikan Suu Kyi. Namun, di Myanmar Suu Kyi masih dihormati oleh banyak orang. Sejumlah pendukung Suu Kyi menggelar aksi dukungan kepadanya dengan membentangkan spanduk bertuliskan "Stand with Suu Kyi".
Halaman depan semua surat kabar di Myanmar memajang foto Suu Kyi satu halaman penuh dengan judul "Stand with Suu Kyi".
The Irrawaddy, sebuah majalah yang identik dengan pembangkang pro demokrasi menerbitkan editorial berjudul, "Kebenaran Politik dan Kasus Genosida Terhadap Myanmar." Mereka menerbitkan editorial tersebut sebagai kritik bagi Suu Kyi.