REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Komandan Korem (Danrem) 031/Wira Bima, Brigjen TNI Mohammad Fadjar MPICT, mengimbau warga Riau tidak membakar lahan saat kemarau panjang. Riau diprediksi mengalami musim kemarau panjang pada 2020.
"Maka jauh hari kita sudah mengimbau masyarakat dan jajaran Forkompinda Riau akan bekerja keras melakukan berbagai upaya pencegahan dengan harapan agar kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi lagi," kata Mohammad Fadjar dalam keterangannya, Selasa (17/12).
Imbauan tersebut disampaikannya terkait catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Riau diperkirakan mengalami musim kemarau pajang selama tujuh bulan pada 2020. Dari 12 bulan, hanya lima bulan basah, selebihnya kering.
Menurut Fadjar, upaya mengantisipasi sejak dini menghindari kebakaran hutan dan lahan sudah dilakukan saat ini dengan menggencarkan sosialisasi ke masyarakat tentang persiapan mengantisipasi kebakaran lahan. Sosialisasi dilakukan di seluruh jajaran hingga ke pelosok desa serta menyarankan agar pemda membuat tambahan penyekat kanal serta membangun embung.
Selain itu, masyarakat juga diimbau memperbaiki fasilitas dan menambah sejumlah peralatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan hingga ke desa-desa. "Namun demikian, juga terus digencarkan membakar lahan itu adalah cara paling salah dan melanggar undang-undang serta sangat merugikan banyak orang,termasuk negara Indonesia. Karena itu bagi mereka yang mau membuka lahan lakukan dengan baik dan cara yang benar dan kita akan bantu," katanya.
Seekor ular ditemukan mati di area perkebunan nanas milik warga yang terbakar akibat kebakaran lahan gambut yang meluas di Pekanbaru, Riau, Senin (7/10/2019).
Musim kering pada 2020 di Riau, diprediksi akan terjadi empat bulan pertama di awal tahun sejak Februari. Setelah itu, Riau akan memasuki musim penghujan dan diprediksi kembali dilanda musim kering pada Agustus hingga Oktober 2020.
Sebelumnya, Koordinator Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Riau (UNRI) Suwondo memperkirakan Riau mengalami kerugian materiil sebesar Rp 50 triliun lebih akibat kabut asap terkait kebakaran hutan dan lahan pada awal Juli hingga September 2019. Luas areal hutan dan lahan terbakar saat itu lebih dari 300 ribu hektare.
Kerugian sebesar Rp 50 triliun itu berasal dari terganggunya aktivitas perdagangan, jasa, kuliner, perkebunan, dan kerugian waktu delay dari aktivitas penerbangan. Suwondo mengatakan dampak asap karhutla tersebut telah memicu kerugian ganda, untuk semua sektor kehidupan, kesehatan, ekonomi, sosial, ekologi, pertanian dan perkebunan, jasa dan lainnya.