REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah maraknya kemunculan anakan kobra dan jenis ular lainnya, maka perlu perhatian penanganan pertama jika terkena gigitan ular. Karena 30 menit pertama adalah waktu krusial untuk penanganan bisa ular beracun.
Pakar reptil Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amir Hamidiy menegaskan penanganan pertama sangat penting apalagi 30 menit critical point. Kesalahan pemikiran dulu bahwa digigit ular harus ditoreh, dikeluarkan darahnya, diikat dan dihisap. Itu sudah tidak direkomendasikan oleh WHO," ujar peneliti herpetologi itu ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (17/12).
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sudah mengeluarkan petunjuk penanganan pertama jika terkena gigitan ular. "Yaitu melakukan imobilisasi atau mencegah bagian tubuh yang terkena gigitan untuk tidak bergerak," tegas Amir.
Selanjutnya harus secepatnya dibawa ke rumah sakit yang memiliki anti-bisa, karena itu saat memasuki musim hujan di mana banyak anakan ular menetas, masyarakat harus mengetahui rumah sakit mana saja yang memiliki hal tersebut.
Penanganan di rumah sakit sendiri harus berhati-hati dan jika menunjukkan adanya gejala fase yang lebih berat atau fase sistemik harus dilakukan penanganan yang sesuai.
Hal itu perlu dilakukan karena gejala fase sistemik sendiri berbeda untuk semua jenis gigitan ular, misalnya kobra yang bisanya bereaksi di sel saraf. "Ini penanganannya harus cepat, jadi kalau kita sudah tahu rumah sakit mana yang punya stok anti-bisa bisa langsung tahu ke mana yang harus dituju jika terjadi kasus terburuk," ujar dia.
Akhir-akhir ini beberapa daerah di Indonesia dihebohkan dengan kemunculan banyak anakan ular kobra di daerah dekat dengan permukiman warga. Itu merupakan hal yang wajar, menurut Amir, karena musim hujan adalah saatnya anakan kobra menetas.
Dalam sekali bertelur induk kobra dapat menelurkan sekitar 10 hingga 20 butir yang kemudian langsung ditinggalkan oleh induknya. Telur-telur itu akan menetas dalam rentang waktu 3 hingga 4 bulan.
Kemunculan kobra di sekitar permukiman kemungkinan besar terjadi karena kehilangan habitat aslinya membuat kobra beradaptasi dengan membuat sarang di sekitar daerah dengan aktivitas manusia. Selain itu ketiadaan predator alami seperti biawak dan elang juga ikut berkontribusi dengan lonjakan populasi ular berbisa tersebut.