REPUBLIKA.CO.ID,
Tren pengurangan hukuman terhadap terpidana kasus korupsi meningkat. Sejak awal Desember, Mahkamah Agung (MA) mengurangi hukuman dua terpidana korupsi yang mengajukan peninjauan kembali (PK), yaitu Idrus Marham dan Samsu Umar Abdul Samiun. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga memberikan grasi terhadap Annas Maamun, mantan gubernur Riau yang terjerat kasus gratifikasi.
Tren ini dinilai berbahaya bagi pemberantasan korupsi ke depan karena bisa menjadi preseden pada penanganan kasus korupsi. Menanggapi isu tersebut, berikut petikan wawancara wartawan Republika, Bambang Noroyono, dengan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Bagaimana Anda melihat keputusan MA belakangan yang memberikan keringanan hukuman terhadap terpidana korupsi?
Saya tidak tahu ini fenomena apa yang terjadi di hakim-hakim Mahkamah Agung. Karena saya melihat, kok banyak sekali terpidana korupsi yang berasal dari kasus-kasus yang selama ini berhasil diungkap KPK kok malah dikurangi hukumannya.
Di tingkat kasasi, dikurangi hukumannya. PK, dikurangi hukumannya. Saya tidak tahu ini fenomena apa yang terjadi di MA. Tetapi, bagi saya, ini fenomena yang sangat tidak menggembirakan bagi kita. Sangat tidak menggembirakan kita bersama dalam usaha pemberantasan korupsi.
Apa pendapat dan sikap kolektif komisioner KPK terkait itu?
Kita di komisioner sangat serius membahas itu. Beberapa kasus kita mengkaji apa yang sudah diputuskan MA. Dan ada juga satu kasus yang dikurangi hukumannya itu dalam grasi (pengampunan presiden), dan itu sangat tidak menggembirakan sekali bagi KPK. Karena, di saat kita menginginkan agar hukuman itu bisa menjerakan terpidana korupsi, tetapi di sisi lain ada yang memberikan keringanan hukuman.
MA mengatakan ada penerapan pasal dakwaan yang tidak sesuai dengan perbuatan?
Di tingkat kasasi itu kan sebenarnya cuma menguji penerapan hukumnya saja. Bukan mempersoalkan fakta-fakta atas satu perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa. Tetapi, yang terjadi di MA kok masih memeriksa fakta-fakta.
Di pengadilan tingkat pertama itu kan fakta-faktanya sudah diperiksa semua, terbukti semua. Tetapi, kenapa di MA kok hakimnya masih mempersoalkan fakta dari sidang-sidang sebelumnya.
Ada juga satu kasus di PK, padahal eksekusi terpidananya sudah dilakukan, hartanya sudah disita. Itu seperti kasus Sanusi. Tetapi, PK-nya mengurangi hukuman.
Kok seperti ini MA sekarang? Terus terang, saya pribadi memberikan catatan khusus kepada Mahkamah Agung terkait pengurangan-pengurangan hukuman terpidana korupsi ini. Kalau pasal-pasal itu, juga tidak ada masalah selama ini. Dakwaan KPK lakukan terbukti di persidangan. Ada beberapa kasus yang tidak berhasil (dibuktikan), tetapi KPK juga melakukan upaya hukum.
Apa harapan KPK untuk MA ke depan?
Saya sangat berharap ke depan MA ini kembali seperti dulu. MA yang menjadi harapan terakhir untuk membuat pelaku korupsi merasakan rasa jera. Saya juga sangat berharap hakim-hakim di MA ini sesuai kode etik, punya semangat yang sama untuk tidak memberikan toleransi kepada pelaku korupsi. Jadi, saya sangat berharap MA ini kembali lagi kepada Mahkamah Agung yang sebelum-sebelumnya, yang tidak ramah kepada pelaku kejahatan korupsi.
Anda akan purnatugas dari KPK. Apa harapan itu masih bisa tercapai?
Setelah tugas (di KPK) ini, saya jadi ingin kembali lagi untuk membantu-bantu di MA. Memang Mahkamah Agung yang sekarang ini perlu banget dibantu. Saya sebelum ini juga ikut bantu-bantu kerja di MA, di kejaksaan, di kepolisian untuk pendidikan (antikorupsi).
Saya sangat berharap MA ini kembali seperti Mahkamah Agung yang dulu. Mahkamah Agung yang lalu bisa menjadi harapan pemberantasan korupsi. n ed: ilham tirta