REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Ilham Tirta
Tubuhnya kurus, bahkan tak kuat menggerakkan berat badannya yang hanya sekitar 40 kilogram. Sepanjang Kamis, 18 September 2019 lalu, orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis) ini hanya tergolek lemas di pelepah pohon aren dalam kebun seorang warga Dusun Aek Batang Paya, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
Wilayah itu tak jauh dari wilayah operasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru. Pemeriksaan oleh dokter hewan Jenny Adawiyah sehari setelah hewan itu ditemukan menyimpulkan ada luka terbuka di dahi dan pangkal lengan bagian bawah yang diduga diakibatkan senjata tajam.
Jejak penyerangan yang dialami primata yang diberi nama Paya juga teridentifikasi oleh dokter hewan Pusat Konservasi Orang Utan Sumatra (PKOS), dokter Pandu Andika Pandu Wibisono. Menurut dia, selama dua bulan perawatan di PKOS, Paya seperti trauma terhadap manusia.
Padahal, luka-lukanya sudah sembuh dan beratnya menanjak ke angka 46 kilogram. Gejala itu bisa juga karena sifat liar orang utan.
"Tapi, yang lebih mungkin karena masih trauma akibat kejadian penyerangan dengan benda tajam," kata Pandu kepada Republika dalam perjalanan pelepasan kembali Paya ke Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Sipirok, Senin (9/12). Pelepasan itu merupakan kerja sama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) dengan PLTA Batang Toru.
Meski begitu, tidak ada yang tahu siapa yang menyakiti satwa lindung itu hingga tak berdaya. "Tidak mungkin warga setempat yang melakukannya karena justru mereka yang melaporkan keadaan orang utan itu ke BBKSDA," kata Hendrawan Hasibuan, seorang aktivis lingkungan, Rabu (11/12).
Ada 12 desa dan satu dusun yang menjadi koridor Suaka Alam Lubuk Raya, Sumatra Utara, yang menjadi hutan konservasi satwa liar. Menurut Hendra, masyarakat di sejumlah desa itu malah bangga dengan keberadaan orang utan tapanuli yang pada 2017 ditetapkan sebagai spesies baru.
Bahkan, dahulu sekali, kata Hendra, masyarakat menjadikan orang utan sebagai hewan keramat. "Mereka punya mistis. Ketika orang utan datang ke lahan, tidak lagi mereka sakiti. Keramat," kata dia.
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) melepasliarkan seekor Orangutan Tapanuli
Namun, beberapa tahun belakangan konflik antara orang utan dan sebagian warga setempat kembali terjadi. Ketersinggungan itu biasanya terjadi pada musim panen ketika orang utan turun berkelompok dan memakan buah durian ataupun petai petani.
"Kadang kan warga sudah menghitung besok akan memetik 100 biji durian. Namun, pas paginya buah durian tinggal beberapa biji. Ini yang membuat mereka tersulut emosinya," kata Hendra.
Ada sejumlah dugaan lain terkaid kejadian yang dialami Paya, di antaranya Pada diduga menjadi korban perburuan ilegal orang utan di sekitar Sipirok. Hal itu ditandai dengan banyaknya penyerahan orang utan sebagai barang bukti ke PKOS di Batu Mbelin, Sibolangit, Deli Serdang.
Menurut pengurus PKOS, Cita Kasih, sebagian besar dari 56 orang utan yang mereka rawat merupakan hasil rampasan dari pemburu ilegal. Hendra mencurigai Paya diserang masyarakat di luar Desa Aek Batang Paya yang mencari burung. "Sekarang kansedang musim burung. Mungkin mereka ketemu pas buru," ujarnya.
Upaya konservasi
Setelah ditetapkannya orang utan tapanuli sebagai spesies baru, usaha konser vasi makin gencar dilakukan. Mencegah konflik dengan masyarakat setempat menjadi fokus utama pelesta rian satwa yang terancam punah tersebut. Saat ini diperki-rakan jumlah orang utan tapanuli sekitar 577-760 ekor.
Menurut Hendra, pengetahuan masyarakat sudah lumayan bagus. Di antaranya, mereka mengetahui orang utan sebagai satwa lindung yang terkoneksi dengan hutan mereka.
Salah seorang warga setempat, Harun Alrasid, mengaku masyarakat telah menjaga hutan Sibual-buali dan Lubuk Raya, termasuk semua satwa yang hidup di dalamnya, sejak dahulu kala. "Ini adalah kekayaan alam yang harus terus kami pertahankan. Kami tidak akan biarkan siapa pun merusaknya," kata lelaki 60-an tahun itu. (ed: agus raharjo)