Rabu 18 Dec 2019 11:40 WIB

Bahaya Baru dari Paparan BPA di Plastik

Kimia pengganti BPA juga diteliti tidak lebih aman atau sehat.

Rep: Adysha C Ramadhani/ Red: Indira Rezkisari
BPA bisa ditemukan di beragam jenis plastik, termasuk wadah makanan minuman.
Foto: Pixabay
BPA bisa ditemukan di beragam jenis plastik, termasuk wadah makanan minuman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia sudah lama terpapar level bisphenol A (BPA) yang tinggi dari perkiraan sebelumnya. BPA adalah bahan kimia beracun yang mengganggu hormon yang dibutuhkan untuk tumbuh normal dan berkembang. Temuan tersebut terungkap dalam studi menggunakan metode baru untuk mengukur kadar kimia di manusia.

Tes untuk mengetahui paparan BPA di manusia selama ini mengandalkan enzim keong. Enzim  akan mengubah metabolites BPA, memecah produk yang terbentuk saat bahan kimia masuk ke tubuh, kembali ke bentuk BPA yang kemudian akan diukur. Demikian catatan peneliti di jurnal The Lancet Diabetes & Endocrinology.

Metode tersebut sudah lama digunakan oleh regulator AS sebagai cara menentukan standar keamanan produk. Dalam penelitian terbaru, peneliti membandingkan cara lama menentukan paparan BPA di manusia dengan cara baru yang langsung mengukur metabolites BPA.

Ketika kedua metode digunakan untuk mengetes kadar BPA di urin, hasilnya jauh berbeda. Di pengetesan cara lama yang digunakan oleh US Food and Drug Administration (FDA) hanya terdeteksi kadar BPA 10 persen.

Tes dengan cara baru di sampel yang sama menunjukkan level BPA hingga 44 kali lebih tinggi dari hasil tes lama. Disparitas adalah dua metode artinya, manusia sebenarnya terpapar BPA lebih tinggi dari perkiraan selama ini.

"Studi menimbulkan perhatian serius apakah selama kita sudah cukup berhati-hati terhadap keamanan dari bahan kimia ini," kata peneliti senior Patricia Hunt dari Washington State University di Pullman. Ia mengatakan lagi, artinya regulasi terkait BPA perlu dipertimbangkan ulang karena didasarkan pada penghitungan yang tidak akurat.

BPA bisa ditemukan di beragam jenis plastik, termasuk wadah makanan minuman. Studi ke hewan menunjukkan BPA bisa mengganggu hormon tubuh. Paparan BPA ke janin bisa dikaitkan dengan masalah di pertumbuhan, metabolisme, perilaku, ketidaksuburan, dan bahkan risiko kanker.

Sementara itu, FDA memang telah mengevaluasi data dari studi yang mengukur level BPA di urin manusia. FDA menemukan paparan manusia terhadap bahan kimia itu ke manusia sangat rendah. Studi terbaru, disebut penelitinya, menantang asumsi dan menimbulkan pertanyaan tentang bahan kimia lain, termasuk pengganti BPA, yang ditelaah menggunakan metode tidak langsung.

Penghitungan kadar BPA yang tidak akurat artinya membuat bahaya risiko kesehatan ke manusia jadi diremehkan, ujar Dr Leonardo Trasande, direktur NYU Center for the Investigation of Environmental Hazards di New York. "Kita mungkin sudah meremehkan efek BPA di studi manusia," ujar Trasande yang tidak terlibat di studi terbaru.

Studi terbaru memang tergolong kecil. Studi juga tidak dirancang untuk menentukan apakah paparan BPA bisa menyebabkan masalah kesehatan.

BPA, paraben, antimikrobial digunakan secara luas di produk perawatan diri dan plastik. Dalam beberapa studi, BPA, paraben, dan antimikrobial tampak memiliki senyawa yang merusak endokrin tubuh. Akibatnya terdapat gangguan hormon, dan mengganggu perkembangan, faktor reproduksi hingga efek neurologis.

"Kita tidak bisa menghilangkan paparan. Tapi kita bisa menguranginya dengan menghindari rute kontaminasinya, misalnya tidak memanaskan makanan di microwave dalam plastik atau mesin cuci piring (panas adalah sumber migrasi bahan kimia di plastik), dan tidak menggunakan produk yang jelas sudah rusak (produk plastik yang sudah rusak akan mengekspos kimia)," kata Hunt, dilansir dari Reuters, Rabu (18/12).

photo
Logo plastik bebas BPA (dok Wikimedia).

Bahaya BPA di Anak

BPA memang harus diwaspadai. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa paparan bisphenol A (BPA) pada anak laki-laki saat masih dalam kandungan dapat meningkatkan risiko depresi dan kecemasan. Risiko depresi dan kecemasan akibat paparan Zat kimia yang biasa terdapat pada plastik ini terlihat ketika anak laki-laki memasuki usia 10 hingga 12 tahun.

Tim peneliti dari University of Columbia di New York melakukan penelitian terkait paparan BPA selama masa kehamilan dan dampak patologinya bagi anak. Untuk mengetahui dampak tersebut, tim peneliti melakukan penelitian terhadap 241 wanita hamil non-perokok dan anak dalam kandungan mereka.

Untuk mengetahui kuantitas BPA yang terserap, tim peneliti meminta para wanita hamil non-perokok tersebut untuk mengumpulkan sampel urin ketika mereka sedang dalam masa trimester ketiga kehamilan. Selain itu, tim peneliti juga mengumpulkan sampel urin dari anak yang telah dilahirkan oleh para wanita hamil tersebut ketika sang anak berusia tiga, lima, 10 dan 12 tahun.

Di akhir masa penelitian, tim peneliti melakukan rangkaian tes terakhir pada anak. Anak-anak diminta untuk menjalani tes dan wawancara psikososial untuk mengevaluasi tanda-tanda potensial dari depresi dan kecemasan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki dengan paparan BPA tertinggi memiliki gejala kecemasan dan depresi dibandingkan anak laki-laki yang terkena paparan BPA lebih rendah. Akan tetapi, pengaruh paparan BPA tidak terlalu terlihat pada anak perempuan. Tim peneliti menilai kondisi berbeda pada anak laki-laki dan perempuan ini disebabkan oleh otak anak laki-laki yang lebih rentan terhadap paparan BPA ketika masih berkembang di dalam rahim.

Seperti dilansir Malay Mail Online, tim peneliti mengatakan risiko kecemasan dan depresi yang meninggi, khususnya kekhawatiran, dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak di masa mendatang. Gejala-gejala ini dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berkonsentrasi, bersosialisasi dan sukses di sekolah.

Bahaya BPA memang sudah berulangkali dibuktikan secara ilmiah melalui berbagai penelitian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa BPA berkaitan dengan penyakit asma, pubertas dini pada anak perempuan, diabetes, dan penyakit jantung pada orang dewasa. Selain itu, pada Mei lalu tim peneliti Amerika Serikat juga menemukan bahwa paparan BPA berpotensi menimbulkan risiko obesitas. Pada April lalu, European Food Savety Authority (EFSA) juga mengumumkan akan kembali melakukan penelitian atas dampak BPA terhadap sistem imunitas.

Oleh karena itu, penggunaan BPA dalam produk-produk tertentu telah dilarang di beberapa negara. Untuk bisa meminimalisasi kontak dengan BPA, ahli menyarankan agar konsumen tidak menggunakan kontainer plastik berlabel 3 dan 7, khususnya untuk makanan atau minuman. Selain itu, ahli juga merekomendasikan agar konsumen beralih dari makanan kalengan ke produk makanan beku atau segar.

Selain itu, sebisa mungkin ahli juga menyarankan agar konsumen memilih kontainer yang terbuat dari kaca, perselen atau stainless steel untuk menaruh makanan atau minuman, khususnya ketika makanan dan minuman dalam kondisi panas.

photo
Plastik dengan label bebas BPA atau pengganti BPA belum tentu lebih aman.

Pengganti BPA

Kekhawatiran atas BPA memang sudah timbul sejak beberapa tahun terakhir. Karena itu muncul bahan kimia yang disebut sebagai pengganti BPA. Studi namun menunjukkan, kimia pengganti BPA mungkin juga menyebabkan masalah kesehatan.

Dikutip dari laman Livescience, studi menemukan di antara anak di AS, paparan ke dua bahan kimia yang sering menggantikan BPA yakni bisphenol S (BPS) dan bisphenol F (BPF) bisa dikaitkan dengan risiko obesitas.

BPS dan BPF memiliki struktur yang sama dengan BPA. Pengganti BPA itu bisa ditemukan di beberapa tipe plastik, makanan kaleng, dan produk lain.

Studi yang dipublikasikan Juli tahun ini di Journal of the Endocrine Society menambah bukti kalau kimia di bisphenol terkait dengan obesitas dan penambahan berat badan. Di tahun 2012 peneliti pernah menemukan kaitan antara BPA dan kegemukan di anak.

Penggunaan BPS dan BPF berkembang karena industri menggantikan BPA dengan kimia tersebut. Peneliti Melanie Jacobson dari New York University School of Medicine, mengatakan meskipun diet dan olahraga masih dianggap sebagai sumber utama obesitas tapi penelitian menunjukkan paparan kimia juga bisa menjadi faktor pemicu.

Dr Kenneth Spaeth, kepala bagian kesehatan okupasional dan lingkungan di Northwell Health, New York, yang tidak terlibat studi mengatakan dari sudut pandang konsumen label bebas BPA tidak bisa diartikan lebih aman atau sehat. Sulitnya, konsumen tidak bisa tahu apakah produk yang dimilikinya mengandung kimia apa saja.

"Saya rasa konsumen tidak memiliki pilihan tentang bagaimana membuat pilihan yang informatif," katanya. Ia berharap ada perubahan dari segi regulasi dan label produk.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement