REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Cina dan Rusia mendorong Dewan Keamanan (DK) PBB mencabut sanksi Korea Utara (Korut) untuk mengurangi krisis kemanusian di negara itu. Menurut Duta Besar Cina untuk PBB, pencabutan sanksi juga dapat mengatasi kebuntuan negosiasi denuklirisasi antara Korut dan Amerika Serikat (AS).
"Berkenaan dengan sanksi-sanksi itu, yang juga menjadi keprihatinan Republik Demokratik Rakyat Korea dan keprihatinan mereka itu sah," kata Duta Besar Cina untuk PBB Zhang Jun, Rabu (18/12).
Pada Senin (16/12) lalu Cina dan Rusia mengusulkan kepada 15 anggota DK PBB untuk mencabut sanksi ekspor Korut. Dalam rancangan resolusi itu Cina dan Rusia juga meminta agar pembatasan proyek infrastruktur di Korut dikurangi.
"Jika Anda ingin mereka melakukan sesuatu, Anda harus mengakomodir apa yang menjadi keprihatinan mereka. Itu logika dibalik inisiatif Cina dan Rusia," tambah Zhang.
Para diplomat di DK PBB akan menggelar rapat untuk membahas rancangan resolusi itu. Agar bisa lolos, resolusi tersebut membutuhkan sembilan dukungan dan tidak diveto oleh Amerika Serikat (AS), Prancis, Inggris, Rusia atau Cina.
"Ketika kami merasa mendapat dukung yang cukup kuat kami akan mengambil tindakan selanjutnya," kata Zhang saat ditanya kapan pemungutan suara rancangan resolusi tersebut digelar.
Duta Besar AS untuk PBB Kelly Craft sudah menanggapi rancangan resolusi ini. "DK PBB harus dan selalu bersatu dalam berbicara tentang Korea Utara. Kami bersedia untuk mengambil aksi bersama, tapi harus sesuai dengan komitmen Presiden Donald Trump dan Pemimpin Kim (Jong-un) di Singapura," cicit Craft di Twitter.
Trump dan Kim menggelar pertemuan pertama mereka di Singapura pada Juni 2018 lalu dan melaksanakan dua pertemuan lainnya. Tapi sejak itu belum ada kemajuan dalam proses denuklirisasi Semenanjung Korea.
Kim sudah memberikan tenggat kepada Trump hingga akhir 2019 untuk menunjukkan fleksibilitasnya dalam isu ini. Pada bulan ini perwakilan Korut di PBB sudah mendeklarasikan negosiasi denuklirisasi sudah tidak akan dilanjutkan lagi.