REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dialog antaragama dinilai dapat membantu penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian di Myanmar melalui Peaceful Myanmar Initiative (PMI). Dialog tersebut digagas dalam forum dialog King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID).
“Salah satu cara mencapai perdamaian adalah dengan mengumpulkan para pemimpin agama ke meja dialog. Sejauh ini pelatihan dan lokakarya yang kami lakukan untuk menghubungkan umat antaragama berjalan sangat baik dan menjanjikan,” kata Sekretaris Jenderal KAICIID Faisal bin Muaammar dalam sebuah lokakarya di Jakarta, Rabu (18/12).
Sejak 2016, KAICIID telah mendukung para pemimpin agama dan organisasi berbasis agama di Myanmar dalam upaya mereka menghidupkan kembali semangat toleransi dan perdamaian yang telah menjadi ciri khas negara itu. Myanmar, dengan sekitar 56,8 juta penduduk, adalah negara yang menghadapi transisi politik dan ekonomi.
Negara terbesar kedua di Asia Tenggara itu berjuang menghadapi masalah identitas terkait etnis dan agama, dengan lebih dari 135 kelompok etnis yang diakui. Sejumlah serangan kekerasan menargetkan komunitas Muslim terjadi di berbagai bagian negara tersebut, terutama di Negara Bagian Rakhine.
Tiga tahun sejak didirikan, PMI aktif melakukan inisiatif menghidupkan kembali semangat toleransi di Myanmar melalui dialog antaragama di lebih dari 100 kota di Myanmar. PMI telah berkembang dari jaringan yang semula memiliki 15 anggota menjadi lebih dari 50 anggota.
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar.
Inisiatif PMI juga mampu memunculkan gerakan dialog antaragama di 12 dari 14 negara bagian dan wilayah di Myanmar. Sebagian besar, PMI bekerja pada pembangunan perdamaian melalui promosi dialog antaragama yang terdiri dari tiga pilar yakni pembangunan kapasitas, pengembangan keyakinan, dan pembangunan jaringan.
Menurut Faisal, semangat yang ditularkan oleh gerakan PMI akan semakin efektif jika terhubung dengan pengambil kebijakan setempat. “Kita tidak memiliki kekuatan lain kecuali keterampilan dialog. Menggunakan dialog untuk menghubungkan antarumat beragama menjadi salah satu cara untuk berkontribusi dalam pembangunan perdamaian di dunia,” ujar dia.
Lokakarya internasional yang diselenggarakan oleh KAICIID, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), dan Gusdurian Foundation itu bertujuan membina dialog antaragama untuk mencegah dan mengurangi konflik di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Sebelum Jakarta, lokakarya serupa telah dilaksanakan di Bangkok pada 2017.
Menurut Direktur Departemen Dialog OKI Bashir Ansari, masyarakat di Asia Tenggara pada dasarnya mencintai perdamaian. Berbagai konflik dan ketegangan yang terjadi di kawasan ini, disebutnya bertentangan dengan sifat cinta damai yang dimiliki masyarakat di Asia Tenggara.
“Jadi kami berharap melalui lokakarya ini, kita bisa bergerak maju dalam upaya pembangunan perdamaian di kawasan,” ujar dia.
Dengan melibatkan pemimpin agama dan pembuat kebijakan dari Indonesia, Malaysia, Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand, KAICIID berharap lokakarya itu memfasilitasi kolaborasi konstruktif antara para pemimpin agama dari berbagai agama dan latar belakang, dan untuk membina hubungan dengan para pengambil kebijakan di tingkat nasional dan regional.
Organisasi yang berbasis di Wina, Austria itu, memiliki mandat mempromosikan penggunaan dialog secara global untuk mencegah dan menyelesaikan konflik guna meningkatkan pemahaman dan kerja sama.