Kamis 19 Dec 2019 04:16 WIB

Pemuda Gaza Bangun Inovasi Energi Ramah Lingkungan

Tiga pemuda Gaza mengubah produk sisa dari pengepresan minyak zaitun jadi bahan bakar

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Tiga pemuda Gaza mengubah produk sisa dari pengepresan minyak zaitun jadi bahan bakar. Ilustrasi.
Foto: wordpress.com
Tiga pemuda Gaza mengubah produk sisa dari pengepresan minyak zaitun jadi bahan bakar. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Tiga pemuda Gaza membangun usaha rintisan (start up) dan membuka peluang kerja bagi warga sekitar. Tamer Abo Motlaq (26 tahun), Usama Qudaih (24 tahun), dan Khaled Abo Motlaq (24 tahun) bertekad untuk mengurangi tingkat pengangguran yang makin memprihatinkan di Gaza.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Palestina, pengangguran di wilayah tersebut didominasi oleh lulusan universitas dengan rentang usia 19-29 tahun, yang mencapai 80 persen. Ketiga pemuda tersebut menciptakan alternatif energi yang terjangkau dan berkelanjutan bagi warga Gaza.

Baca Juga

Mereka mendirikan Proyek Olive Jift yakni sebuah startup yang mengubah 'jift' atau produk sisa dari pengepresan minyak zaitun menjadi pelet bahan bakar untuk memasak dan menjadi pemanas di rumah-rumah. "Proyek kami memenangkan pendanaan mikro sebesar lima ribu dolar AS dan menerima bantuan teknis serta pelatihan dari (LSM lokal) Ma'an Development Center," ujar Tamer kepada Aljazirah.

Tamer mengatakan mengubah jift menjadi pelet bahan bakar membutuhkan biaya sekitar 150 dolar AS per ton atau 0,2 dolar AS per kilogram. Harga tersebut setara dengan setengah dari harga kayu bakar per kilogram di Gaza. Untuk mendapatkan pendanaan awal, mereka mengikuti sebuah kontes startup yang digelar oleh Danish Church Aid.

Tamer menjelaskan produksi jift dimulai dengan menggiling buah zaitun yang tersisa dari tempat pemerasan zaitan. Kemudian mereka menambahkan zat kimia untuk menghilangkan bau busuk dari pembakaran jift dan mengurangi emisi serta asapnya.

Tahap terakhir adalah mengompres minyak zaitun olahan melalui mesin yang dirancang khusus untuk membuat jift berbentuk silinder dengan sejumlah celah udara di dalamnya. "Lalu kita biarkan mengering di bawah sinar matahari sebelum siap digunakan," kata Tamer.

Tamer dan dua orang rekannya membuat sendiri mesin yang dibutuhkan untuk tahap akhir produksi. Mesin ini dapat meningkatkan produksi sebanyak dua kali lipat. Karena itu, mereka mulai mengumpulkan peralatan dan pengetahuan untuk membuat mesin secara mandiri.

"Bersama-sama kami membangun mesin dari nol, dengan menelan biaya tiga ribu dolar AS. Biaya tersebut sudah termasuk dengan upaya pertama kami yang sempat gagal ketika membuat mesin itu," kata Tamer.

Dengan inovasi ini, ketiga pemuda Gaza itu berharap dapat menciptakan produk yang berkelanjutan bagi penduduk setempat. Selain itu, mereka berharap dapat membantu mengatasi kekurangan energi di Gaza. Tamer mengatakan, mengubah jift menjadi energi lebih murah dan efisien serta ramah lingkungan ketimbang kayu bakar.

Tamer menjelaskan, kayu bakar dapat terbakar selama empat hingga lima jam. Sedangkan jift rata-rata terbakar selama tujuh hingga 10 jam. Ketika digunakan untuk memanaskan dan memasak, beberapa blok jift menggantikan silinder gas seharga 64 shekel (18,47 dolar AS).

Inovasi jift ini telah mengurangi permintaan kayu bakar yang bersumber dari pohon jeruk lokal. Tamer berharap inovasi yang dibangun bersama rekannya dapat mengurangi penebangan pohon di Gaza. Sebab, Gaza memiliki jumlah penduduk yang cukup padat dan kekurangan daerah hijau.

Saat ini, tingkat produksi jift sekitar 1.000 kilogram per jam. Bahkan, sejumlah pabrik lokal di Gaza telah memesan jift buatan ketiga pemuda tersebut dan memasok dalam jumlah besar sebagai energi alternatif.

"Beberapa pabrik lokal menginginkan kami untuk memasok jift dalam jumlah besar sepanjang tahun untuk energi alternatif. Sementara banyak petani di Khan Younis di Gaza selatan menggunakannya pada musim dingin untuk memanaskan rumah kaca dan peternakan ayam, karena itu dapat memberi mereka pemanasan hingga 12 jam," kata Tamer.

Tamer dan dua rekannya berharap dapat meningkatkan produksi pada tahun depan, bersamaan dengan penambahan tenaga kerja dan staf teknik. Selain itu, mereka juga sedang mengembangkan beberapa inovasi energi lainnya yakni pemanas portabel yang dapat mengisi daya baterai telepon dari pembakaran jift.

Tamer berharap komunitas internasional dapat memperhatikan semangat wirausaha yang ditanam di Gaza. Menurutnya, kewirausahaan adalah jalan untuk menentang status quo dan mengembangkan solusi lokal untuk krisis yang dialami di Gaza.

"Kami adalah beberapa populasi yang paling berpendidikan di dunia. Yang kurang dari kami adalah kesempatan serius untuk menunjukkan sumber daya dan potensi kami untuk menciptakan realitas yang lebih baik bagi diri kami sendiri," ujar Tamer.

Seorang profesor biokimia di Universias Al Azhar Mesir, Hassan Tammous menjelaskan, ekstraksi minyak biasanya meninggalkan lebih dari 40 persen limbah dari total panen zaitun. Setiap tahun terdapat 80 ribu ton limbah zaitun terbengkalai setelah proses ekstraksi di Tepi Barat dan Gaza. 

Tammous mengatakan, pengelolaan limbah merupakan tantangan di Gaza yang berpenduduk padat. Limbah zaitun biasanya banyak dibuang di selokan atau di lahan pertanian.

"Ini sangat memprihatinkan karena limbah tersebut mengandung polifenol dan bahan kimia lainnya yang beracun bagi mikroorganisme, berbahaya bagi produksi pertanian dan terkontaminasi oleh akuifer," ujar Tammous.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement