REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, M Nursyamsi
JAKARTA -- Perum Bulog resmi mengumumkan lelang beras turun mutu sebanyak 20.392 ton dengan harga dasar Rp 23,757 miliar. Beras tersebut hanya akan diperuntukkan bagi industri non-pangan atau non-pakan dan ditetapkan pemenang tunggal.
Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaluddin Iqbal, mengatakan peruntukkan beras untuk non-pangan dan pakan sesuai dengan keputusan Bulog. Dengan kata lain, beras turun mutu tersebut bisa diolah untuk pembuatan ethanol.
"Iya diolah (jadi ethanol). Jadi siapapun dia harus menggunakan beras itu untuk non-pakan dan non-pangan, itu prinsipnya. Mungkin juga ada peruntukkan lain selain ethanol," kata Awaluddin kepada Republika.co.id, Rabu (18/12).
Lebih lanjut, kata Awaluddin, penggunaan beras oleh pemenang lelang nanti harus sesuai dengan kontrak dalam mekanisme lelang. Bulog juga harus mengetahui detail penggunaan beras turun mutu tersebut sehingga tidak lolos dari pengawasan.
Pada Rabu (18/12) siang ini, Bulog telah mengumpulkan para potential buyers yang berminat untuk mengikuti proses lelang beras turun mutu milik Bulog. Pelaksanaan lelang, kata Awaluddin akan dilaksanakan dalam satu hingga dua hari ke depan.
"Lebih cepat lebih baik, satu dua hari ini kita laksanakan lelang," ujar dia.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso mengatakan beras turun mutu milik Bulog yang akan dilelang bisa dijadikan beberapa produk. Serendah-rendahnya kualitas beras yang akan dilelang dapat diolah menjadi ethanol. Hal itu sesuai dengan rekomendasi laboratorium yang ditunjuk oleh Kementerian Pertanian maupun oleh Badan Ketahanan Pangan.
Menurut dia, beras turun mutu yang dimiliki Bulog harus tetap bisa memberikan nilai jual meskipun pada akhirnya melewati mekanisme pelepasan berupa lelang beras. Sebab, beras tersebut merupakan cadangan beras pemerintah (CBP) yang dibayarkan oleh pemerintah.
Berdasarkan pengumuman lelang beras turun mutu yang dipublikasikan Bulog melalui situsnya, pendaftaran peserta lelang telah dimulai sejak Senin (16/12) hingga Rabu (18/12). Calon pembeli diwajibkan untuk menyerahkan jaminan penawaran dalam bentuk deposito atau bank garansi dengan kuasa pencairan kepada Bulog dengan ketentuan yang ditetapkan Bulog. Adapun, nilai jaminan penawaran yang harus diserahkan para peserta lelang yakni sebesar Rp 237,575 juta.
Beras turun mutu berasal dari cadangan beras pemerintah (CBP). Aslinya beras CBP memiliki hartga Rp 8 ribu per kilogram.
Penurunan mutu beras menyebabkan harga beras turun pula menjadi hanya Rp 5 ribu. Selisihnya, disebut Budi Waseso, akan ditutup oleh Kementerian Keuangan.
"Ini kan CBP, jadi ini yang tadinya harganya Rp 8 ribu, kita jual jadi Rp 5 ribu, nah kekurangannya Rp 3 ribu, itu yang menanggung Menteri Keuangan," jelas Budi Waseso di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (4/12).
Sebelum dilelang, BPOM akan memeriksa terlebih dahulu beras CBP di laboratorium. Selain itu, harga jual beras juga akan mendapatkan rekomendasi dari Menteri Pertanian.
Beras CBP tersebut juga akan dilelang dan diolah menjadi ethanol. Namun, harganya akan semakin anjlok.
Budi menyebut, beras yang diolah menjadi ethanol hanya mendapatkan harga penawaran sebesar Rp 1.800 per kilogram. "Jadi tidak banyak, tapi selisih harga itu (dari Rp 8 ribu) itu nanti Menteri Keuangan," ujar dia.
Namun, Budi mengatakan hingga saat ini Menteri Keuangan belum melaporkan secara pasti angka yang dialokasikan untuk menutup selisih harga beras. Untuk menjual beras CBP di pasaran, Budi juga menyebut akan ada regulasi yang direvisi.
"Ya ada Permendag yang berubah, ada nanti Perpres yang harus diubah. Ada juga regulasi yang harus diubah dari Mensos," kata Budi.
Kebijakan pangan yang tidak tepat mengakibatkan 20 ribu ton beras Bulog mengalami penurunan mutu hingga harus dilelang untuk kebutuhan non-pangan.
Kebijakan Pangan
Rencana pemerintah melelang beras turun mutu dikritik sejumlah pihak. Mantan Menteri Pertanian di era SBY, Anton Apriyantono, mengatakan Indonesia belum pernah harus melelang beras karena mutunya turun.
"Belum pernah terjadi seperti ini. Dulu seimbang antara yang masuk dengan yang keluar," kata Anton.
Ia pun mengatakan ketidakseimbangan beras yang masuk dan keluar bukan disebabkan oleh kelebihan suplai dari impor karena stok minimal cadangan beras pemerintah (CBP) harus ditetapkan sebanyak dua juta ton. "Out-nya terlambat. Sekarang programnya seperti apa? Kenapa tidak disalurkan itu beras," ujar Anton, yang sekarang menjabat Ketua Dewan Kopi Nasional.
Sementara itu, pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengatakan saat ini ada manajemen yang kurang memadai terkait arus masuk dan keluar beras di gudang Bulog. Kondisi itu yang menyebabkan Bulog sempat berencana memusnahkan sebanyak 20 ribu ton beras karena terlalu lama mengendap di gudang yaitu lebih dari setahun.
Ia menegaskan sangat wajar apabila terdapat komoditas pertanian yang mengalami penurunan mutu sehingga harus dilakukan pemusnahan karena setiap barang punya masa layak dengan jangka waktu tertentu.
Namun, menurut Dwi, pembuangan barang tersebut tidak boleh berjumlah lebih dari satu persen dari total barang yang dijual perusahaan. Jumlah pembuangan yang besar, tambah dia, menandakan sistem manajemen tidak efektif dan efisien.
Selain itu, kualitas beras yang masuk ke gudang Bulog juga perlu diperhatikan karena beras yang akan mengalami pembuangan lebih banyak berasal dari serapan dalam negeri. "Pada Kementan sebelumnya, Bulog dipaksa beli gabah juga. Akhirnya dapat gabah dan beras yang kualitasnya tidak begitu bagus. Kalau kualitasnya tidak bagus, jangankan setahun, dua bulan sudah rusak," ujarnya.
Ekonom senior dan cendekiawan Emil Salim menilai ada yang dengan salah tata kelola kebijakan pangan pemerintah. "Ini kan berarti kebijakan pangan, produksi pangan, perdagangan pangan dan impor pangan tidak berada pada jalur yang benar," kata dia di Jakarta, Selasa (3/12).
Ia mempertanyakan hal yang menyebabkan stok-stok beras yang berada di Bulog itu menjadi busuk. Sebab hal itu menunjukkan adanya perkiraan untuk pengadaan stok beras yang keliru sehingga tidak terpakai.
"Pihak yang dirugikan atas hal ini tentu termasuk petani. Apalagi kalau ada impor, tentu nantinya akan memengaruhi harga dan itu merugikan petani," kata guru besar bidang ekonomi Universitas Indonesia itu.
Bahkan, ia mengatakan dirinya memerhatikan nilai tukar petani dan palawija dalam empat tahun terakhir yang menunjukkan nilai yang diterima petani lebih kecil dari yang dibayarkan termasuk biaya hidup. Sehingga dalam empat tahun terakhir, nilai tukar petani justru merugikan petani itu sendiri. Ini yang perlu diperbaiki ke depan.
Selain itu, dalam keadaan merugikan petani, harga beras Indonesia di luar negeri malah menunjukkan angka lebih mahal dibandingkan beras Vietnam. Sehingga hal itu cukup membingungkan.
"Nah kalau di sini petani rugi sedangkan beras dijual lebih mahal di luar negeri, lalu surplusnya ke mana? Ditambah lagi stok beras lantas juga dimusnahkan," ujar dia.
Keadaan tersebut seharusnya perlu dikaji lebih jauh. Karena ditakutkan terdapat hal-hal yang tidak beres termasuk kajian terkait penyebab stok beras sampai tidak layak dan mesti dimusnahkan. Termasuk pula kaitannya dengan ada tidaknya impor beras beserta harga yang ditetapkan atas beras Indonesia di dalam dan di luar negeri juga perlu dikaji.