Kamis 19 Dec 2019 06:00 WIB

Konflik Wiranto dan OSO Dinilai Rugikan Hanura

Konflik Wiranto dan OSO hanya membuat partai Hanura semakin mengecil

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai, konflik internal Partai Hanura antara Wiranto dengan Oesman Sapta Odang (OSO) cukup merugikan partai. Tidak hanya untuk salah satu kubu, melainkan kubu masing-masing akan mendapatkan imbas buruk.

"Jadi konflik ini enggak berkepentingan. Jadi konflik antara OSO dan Wiranto itu tak menghasilkan apapun, justru membuat partai ini akan semakin mengecil," ujar Adi saat dihubungi, Rabu (18/12).

Ia menjelaskan, di internal Hanura sendiri suara partai terbelah, ada yang mendukung Wiranto dan pendukung OSO. Sehingga para kader atau pengurus Hanura tidak fokus dan tidak solid membangun partai.

Adi melanjutkan, pada saat yang bersamaan dukungan publik tentu akan melemah karena di tengah ketidakpercayaan terhadap Hanura. Dengan demikian, setiap konflik apapun yang terjadi di internal partai tak pernah menguntungkan secara politik.

"Ini malah ada partai kecil enggak lolos ke Senayan (DPR RI) malah ribut-ribut kerjanya. Ini yang menurut saya konflik apapun di partai politik itu tidak pernah menguntungkan secara politik, apalagi ini partai kecil. Sudah enggak lolos Senayan, ributnya enggak selesai-selesai," jelas Adi.

Menurut Adi, konflik antara Wiranto dan OSO juga imbas dari keputusan Wiranto meninggalkan jabatan Ketua Umum Partai Hanura dan menyerahkannya ke OSO. Ketika itu Wiranto memilih mengemban tugas menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam).

Padahal OSO bukan kader Hanura, menurut Adi, OSO dipilih Wiranto karena kekuatan nama OSO ketika menjabat anggota DPD RI saat itu. Elite partai yang diduduki bukan dari proses kaderisasi partai itu sendiri justru menimbulkan efek negatif untuk internalnya.

"Kemudian menjadi sebagai pimpinan partai (Hanura). ini menjadi pembelajaran ke depan, bahwa konflik semacam ini adalah bagian dari proses rekruitmen elite yang sejak awal tidak terlampau melihat kaderisasi," tutur Adi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement