REPUBLIKA.CO.ID, Sering kita mengucapkan kalimat "la hauwla wa la quwwata illa billah" لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّة َاِلَّا باِللهِ dalam hidup sehari-hari kita.
Kalimat tersebut disebut dengan hauwqalah. Apa sebenarnya makna dari kalimat thayyibah tersebut?
Sayyid Muhammad bin al-Alawy al-Maliki al-Hasani, dalam kitabnya Abwab al-Faraj, mengemukakan makna dari hauwqalah. Dia mengutip pernyatanan Imam as-Syadzili bahwa, kalimat ini adalah bentuk penolakan segala keburukan yang menimpa seorang hamba.
Dengan mengucapkan kalimat ini, seakan hamba tersebut menyatakan ‘Jauhkan segala keburukan dariku, dan aku alihkan daya upayaku kepada daya dan upaya Allah SWT.’
Dengan kepasrahan dan kesadaran penuh terhadap daya dan upaya Sang Khaliq tersebut, maka Allah SWT akan mendatangkan pertolongan baik langsung ataupun tak langsung kepada hamba-Nya. Prinsip ini sesuai dengan QS at-Thalaq ayat ke-3: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
Sayyid Muhammad juga memaparkan, pemaknaan lain dari kalimat thayyibah ini adalah, bahwa pernyataan tersebut adalah bentuk dari pelaksanaan amanat Allah SWT oleh manusia.
Dalam QS al-Ahzab ayat ke-72 Allah berfirman, ”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
Maksud dari ayat itu, amanat yang adalah segala perbuatan yang bersumber dari manusia. Jika manusia tersebut menyatakan bahwa segala perbuatan itu dia lakukan dengan daya dan upayanya sendiri, maka dia sejatinya telah mengkhianati amanat. Namun bila dia mengatakan bahwa hal itu dilakukannya atas daya dan upaya Allah, sejatinya dia telah menunaikan amanat.