REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki mendukung kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengevaluasi ujian nasional (UN).
Politisi Partai Amanat Nasional itu mengatakan selama ini dampak (impact) dan keuntungan (benefit) yang didapatkan dari lulusan pendidikan Indonesia banyak yang tidak otentik. Oleh karena itu standarnya perlu dievaluasi.
"Kita banyak melahirkan intelektual tapi apa dampaknya bagi negeri ini? Kita melihat pendidikan itu dari output (banyak sarjana), outcome (nilai bagus), tapi positif benefit dan positif impact-nya nyaris tidak ada," ujar Maliki dalam diskusi meneropong arah pendidikan Indonesia, menanti terobosan Mendikbud di Sekretariat Pengurus Besar HMI Jakarta, Sabtu.
Saat rapat dengar pendapat dengan Menteri Nadiem di ruang rapat Komisi X DPR RI beberapa waktu yang lalu, pria yang pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur periode 2008-2011 dan 2011-2014 itu juga ikut mengkritisi pendidikan di Indonesia.
"Salah satu sebabnya, pendidikannya tidak melahirkan lulusan otentik, tapi melahirkan lulusan yang seolah-olah saja. Karena itu maunya dia digeser. UN dulu menguji kemampuan kognitif. Nadiem bermimpi bisa mengevaluasi kompetensi," ujar Maliki.
Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya periode 2003-2007 dan 2007-2011 ini, hal itu yang menjadi penyebab Nadiem mengganti Ujian Nasional dengan Uji Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Selama ini kemampuan menghapal menjadi primadona untuk UN. Maliki berpendapat kebijakan UN sangat behaviorisme, artinya perilaku seseorang merupakan hasil intervensi dari luar.
"Jika tidak ada intervensi, maka tidak mau bertindak. Sehingga melahirkan manusia-manusia yang perlu diawasi untuk berbuat sesuatu (behavioristik). Di situ saya setuju dengan Nadiem, UN itu perusak bangsa ini. Kenapa mengajari bangsa ini untuk berbuat kalau ditekan? Tidak ada namanya kesadaran," ujar Maliki.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu menambahkan jika dalam pendidikan seharusnya dibentuk secara konstruktivistik yaitu dengan cara membangun kesadaran melalui pembelajaran sehingga bisa melahirkan manusia-manusia disiplin karena memiliki kesadaran.
Ia menambahkan sistem tersebut menjadikan siswa sebagai subjek, bukan lagi menjadi objek. Jika Mendikbud Nadiem ingin mengevaluasi lulusan pendidikan berdasarkan asesmen kompetensi dan survei karakter maka sistem pendidikan konstruktivisme solusinya.
Namun, menurut Guru Besar Muhammadiyah tersebut, karena Nadiem bukan berlatar belakang dari bidang pendidikan, membuat pemikirannya tersebut melompat-lompat sehingga akhirnya menimbulkan pertanyaan di masyarakat.
"Padahal dalam mengevaluasi itu harus dipersiapkan prosesnya karena dalam sebuah sistem, evaluasi ada di ujung, sebelumnya ada proses, sebelumnya proses juga ada pembinaan. Tapi dia pede sekali. Dia percaya diri apa yang ditawarkan itu sesuatu yang baru," kata Maliki.
Apalagi di era disrupsi yang terjadi saat ini ketika banyak sekali perubahan di sekitar. "Lulus UN terbukti tidak menjamin anak bisa survive di era disrupsi. Ini sayangnya Nadiem belum bisa menjelaskan tujuan pendidikan dan arah pendidikan seperti apa. Dia ingin anak didik seperti dia karena dia bisa survive di era 4.0," ujar Maliki.