Ahad 22 Dec 2019 06:45 WIB

India Larang Demonstrasi Anti UU Diskriminasi Muslim

Demonstrasi makin membesar dan jumlah korban meninggal terus bertambah.

Grafiti menyandingkan lambang swastika nazi dengan logo partai penguasa  terpampang di tembok di kampus Jamia Millia Islamia University, New Delhi, India. Mahasiswa menjadikan kampus sebagai media protes mereka setelah sebelumnya polisi merangsek ke dalam kampus membubarkan unjukrasa.
Foto: Altaf Qadri/AP
Grafiti menyandingkan lambang swastika nazi dengan logo partai penguasa terpampang di tembok di kampus Jamia Millia Islamia University, New Delhi, India. Mahasiswa menjadikan kampus sebagai media protes mereka setelah sebelumnya polisi merangsek ke dalam kampus membubarkan unjukrasa.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Polisi melarang pertemuan publik di beberapa bagian ibu kota India dan kota-kota lain, Jumat (20/12). Pemerintah India pun tetap memutuskan layanan internet untuk melawan protes yang berkembang terhadap undang-undang baru yang mendiskriminasi umat Islam.

Unjuk rasa masih terus berjalan pada Jumat, ribuan orang berdiri di dalam dan di tangga Jama Masjid New Delhi yang merupakan salah satu masjid terbesar di India. Mereka mengibarkan bendera India dan meneriakkan slogan-slogan menentang pemerintah dan undang-undang kewarganegaraan.

Baca Juga

Kepadatan itu terjadi ketika polisi melarang pawai yang akan dilakukan dari masjid ke daerah dekat Parlemen. Polisi pun menyemprot para demonstran dengan meriam air untuk mencegah demonstran bertemu dengan lebih banyak orang yang sedang berkumpul, sekitar empat kilometer dari pusat Kota Delhi.

Sebagian besar kekerasan terjadi di negara bagian utara Uttar Pradesh, tempat para pemrotes membakar pos-pos dan kendaraan. Mereka pun melemparkan batu ke arah pasukan keamanan.

Demonstrasi di India makin membesar dan jumlah korban meninggal dunia terus bertambah. Juru bicara dari wilayah Uttar Pradesh, Avanish Awasthi, menyatakan, 14 orang telah meninggal dunia dan lebih dari 4.000 orang ditahan. Sebagian besar penahanan juga terjadi di Uttar Pradesh, lebih dari 100 telah ditangkap dalam sehari dan 3.305 ditahan sejak Kamis.

photo
Grafiti di kampus Jamia Millia Islamia University, New Delhi, India. Mahasiswa menjadikan kampus sebagai media protes mereka setelah sebelumnya polisi merangsek ke dalam kampus membubarkan unjukrasa.

Di New Delhi, sekitar 10 ribu demonstran di luar Universitas Jamia Millia Islamia telah mengumpulkan tanda tangan petisi untuk menuntut undang-undang kewarganegaraan dihapuskan. Universitas adalah tempat bentrokan terjadi pada akhir pekan lalu. Mahasiswa menuduh polisi menggunakan kekuatan berlebihan.

Kekerasan itu tak terbatas terjadi hanya di jalan-jalan. Video pengawasan yang didapatkan Associated Press menunjukkan polisi memasuki Rumah Sakit Highland di selatan Kota Mangalore pada Kamis malam. Mereka menggunakan tongkat untuk membubarkan pengunjuk rasa yang telah berlindung di dalam.

Video itu memperlihatkan dua polisi mencoba menendang pintu bangsal rumah sakit dan mengejar orang-orang berlarian di koridor. Pengunjuk rasa kemudian melemparkan batu ke arah polisi dan kemudian menerobos masuk ke rumah sakit. Salah seorang pegawai Mohammad Abdullah mengatakan, polisi memasuki rumah sakit dan menembakkan peluru gas air mata.

Banyak pengunjuk rasa marah dengan undang-undang baru yang memungkinkan umat Hindu, Kristen, dan minoritas agama lainnya yang berada di India secara ilegal menjadi warga negara. Mereka hanya perlu menunjukan bukti pernah dianiaya karena agama di Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan.

Namun, hukum tersebut tidak berlaku bagi Muslim. Hal ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap konstitusi negara dan menyebutnya sebagai upaya terbaru pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi untuk memarginalkan 200 juta Muslim di India.

Protes dimulai pekan lalu di Negara Bagian Assam di perbatasan timur laut dan di berbagai universitas dan komunitas Muslim di New Delhi. Sejak itu, protes tumbuh dengan melibatkan masyarakat India secara luas.

Demonstrasi yang berjalan pun terjadi di tengah penindasan yang sedang berlangsung di Kashmir yang mayoritas Muslim. Wilayah Himalaya ini dilucuti dari status semiotonom dan diturunkan dari negara bagian ke wilayah federal.

India juga membangun pusat penahanan untuk beberapa orang yang telah ditetapkan pengadilan masuk secara ilegal. Menteri Dalam Negeri Modi Amit Shah telah berjanji untuk menggelar proses secara nasional. Namun, para kritikus mengatakan, proses itu adalah rencana terselubung untuk mendeportasi jutaan Muslim dari India.

photo
Demonstran turun ke jalan menentang UU Kewarganegaraan di Mumbai, India, Jumat (20/12).

Lakukan pembicaraan

Menanggapi berlangsungnya unjuk rasa yang terjadi, Perdana Menteri India Narendra Modi bertemu dengan dewan menteri pada Sabtu (21/12). Pertemuan itu dilakukan untuk membahas langkah-langkah keamanan dalam mengakhiri protes terhadap pengesahan undang-undang kewarganegaraan yang diliputi kekerasan.

Setelah pengesahan pada 11 Desember, demonstrasi terus berkembang dan makin besar. Setidaknya 14 orang tewas dalam bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa.

Dengan sahnya peraturan itu, para kritikus mengatakan, keputusan sangat mendiskriminasi umat Islam dan merusak konstitusi sekuler India. Reaksi ini merupakan perbedaan pendapat yang paling kuat terhadap pemerintah Modi sejak pertama kali terpilih pada 2014.

Negara bagian terpadat di India, Uttar Pradesh, telah menyaksikan kekerasan terburuk dengan sembilan orang tewas sejauh ini. Sedangkan beberapa lainnya dalam kondisi kritis di rumah sakit.

Aktivis hak asasi manusia di Uttar Pradesh mengatakan, polisi telah menggerebek rumah dan kantor untuk mencegah perencanaan demonstrasi baru. Pihak berwenang juga menutup sekolah di seluruh negara bagian saat protes baru meletus pada Sabtu.

Uttar Pradesh diperintah oleh partai nasionalis Modi dan telah lama menyaksikan bentrokan antara mayoritas Hindu dan Muslim minoritas. Di ibu kota Delhi, anggota keluarga menunggu di luar kantor polisi untuk mencari pembebasan puluhan demonstran yang ditahan.

Lebih banyak demonstrasi direncanakan di beberapa bagian negara itu, termasuk di Negara Bagian Assam di timur laut. Wilayah tersebut sejak awal telah menolak karena undang-undang lebih mudah bagi migran non-Muslim dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan yang menetap di India sebelum 2015 untuk mendapatkan kewarganegaraan.

Kebencian terhadap imigran ilegal dari Bangladesh telah membara selama bertahun-tahun di Assam. Wilayah itu salah satu negara termiskin di India yang menjadi tempat orang luar, Hindu atau Muslim, dituduh mencuri pekerjaan dan tanah.

"Ribuan wanita berpartisipasi dalam protes di Assam. Gerakan menentang tindakan ini mendapatkan momentum dari hari ke hari," kata pemimpin Serikat Siswa Assam Sammujal Bhattacharya.

Di bagian lain India, kemarahan terhadap undang-undang berasal dari diskriminasi terhadap Muslim. "Sepotong undang-undang ini menyerang jantung konstitusi, berusaha menjadikan India negara lain," tulis sejarawan terkemuka, Ramachandra Guha, dalam surat kabar India, The Telegraph.

Oposisi politik yang menjadi pemimpin negara bagian dari partai-partai regional pun telah bersumpah untuk mencegah penerapan peraturan di wilayah mereka. Meski begitu, Pemerintah India telah mengatakan tidak ada kemungkinan pencabutan hukum yang sudah disahkan tersebut. n dwina agustina/ap/reuters/ed: setyanavidita livikacansera

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement