Ahad 22 Dec 2019 11:24 WIB

2019 Jadi Tahun Terburuk Perdagangan Asia Pasifik

Perang dagang jadi penyebab utama perdagangan Asia Pasifik buruk di 2019

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Esthi Maharani
YUAN. Petugas bank menghitung dolar AS di samping tumpukan yuan Cina di Hai
Foto: Chinatopix via AP
YUAN. Petugas bank menghitung dolar AS di samping tumpukan yuan Cina di Hai

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK – Tahun 2019 menjadi 12 bulan terburuk untuk perdagangan Asia Pasifik sejak krisis keuangan global pada satu dekade lalu. Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (ESCAP) menyebutkan, penyebab utamanya adalah perang dagang dua ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat (AS) dengan Cina.

ESCAP yang berbasis di Bangkok menjelaskan, ekonomi Asia Pasifik mengalami penurunan perdagangan barang dan jasa secara volume maupun nilai sepanjang 2019. Ini merupakan kejadian pertama kalinya dalam 1 tahun terakhir.

Berdasarkan volume, total ekspor di kawasan Asia Pasifik turun 2,5 persen, sementara impor turun 3,5 persen. Di bawah tekanan harga yang lebih rendah, nilai ekspor dan impor masing-masing turun 3,6 persen dan 4,8 persen. Data ini disampaikan ESCAP, seperti dilansir di South China Morning Post, Ahad (22/12).

ESCAP memperkirakan, ekspor tahunan Cina turun 1,4 persen secara nilai tahun ini. Sedangkan, Hong Kong dan Singapura mengalami penurunan lebih dalam yaitu masing-masing 4,8 persen dan 14,9 persen. Ketiga ekonomi ini memiliki keterkaitan sangat erat, sehingga saat satu negara turun, negara lain berpotensi mengalami kondisi serupa.

Dari data ESCAP terlihat bahwa nilai ekspor dari empat negara maju di Asia Pasifik menurun 6,9 persen. Mereka adalah Australia, Jepang, Selandia Baru dan Korea. Nilai itu jauh lebih dalam dibandingkan penurunan 2,6 persen yang dialami di seluruh negara berkembang Asia Pasifik.

Laporan ESCAP menuliskan, pada 2020, ekspansi ekspor dan impor kawasan Asia Pasifik masing-masing 1,5 dan 1,4 persen. "Tapi, ini tergantung pada apakah perjanjian sementara AS dengan Cina dapat mengurangi beberapa ketidakpastian kebijakan," tulisnya.

Bahkan, jika AS dan Cina telah mencapai kesepakatan perdagangan sementara, risiko penurunan ekspansi impor dan ekspor tetap ada. Sebab, masih ada tindakan pembatasan lain yang berpotensi dilaksanakan. Konflik terkait kekayaan intelektual, transparansi dan intervensi pasar masih berlanjut. Selain itu, potensi pembatasan baru juga dapat mencakup sektor yang memilki supply chain global seperti sektor otomotif.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement