REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai wajar jika masyarakat menyebut niat Gibram Rakabuming Raka menjadi calon Wali Kota Solo disebut dinasti politik. Apalagi, jika putra Joko Widodo itu mendapat keistimewaan dari PDIP.
"Kalau dia mengesampingkan dan menggeser mekanisme yang bekerja di partai, tidak salah kalau kemudian publik beranggapan bahwa ada dinasti politik yang ingin dibangun," ujar Titi di Menteng, Jakarta, Ahad (22/12).
Ia menjelaskan, majunya seseorang menjadi calon kepala daerah dari partai politik pastinya memiliki sejumlah syarat internal. Hal itulah yang menjadi kendala Gibran untuk diusung oleh PDIP.
"Institusi yang namanya partai yang punya sistem, yang punya aturan main. Di mana partai ini kemudian sudah mengatakan mereka melakukan rekruitmen politik," ujar Titi.
Makna dinasti politik, menurut Titi, adalah saat seseorang mendapatkan jabatan karena adanya hubungan kekerabatan dengan seseorang yang berkuasa. Tetapi jika ada seorang anak penguasa yang memang sudah berkecimpung di dunia politik sejak lama, ia tak menyebut hal itu sebagai dinasti politik.
"Dinasti politik lebih cocok dilekatkan ketika privillage itu diperoleh tanpa kemudian proses demokratis yang sejalan dengan mekanisme rekruitmen politik," ujar Titi.
Kendati demikian, ia tak menyalahkan Gibran yang berniat maju sebagai calon wali kota Solo. Dalam hal ini, PDIP yang lebih disorot terkait kandidat yang akan diusungnya.
Sebab, ia menilai partai-partai di Indonesia mengakomodasi kepengurusan pada kerabat dari seseorang yang memiliki pengaruh terhadap partai. Jadi sudah wajar jika ada anak seorang petinggi partai, yang tiba-tiba menjadi pengurus.
"Politik dinasti di kita ini dibungkus oleh prosedural. Jadi bagaimana kemudian prosedur partai berjalan, dan kemudian menghasilkan kelompok kekerabatan untuk mengisi posisi," ujar Titi.
Karena itu, PDIP harus menunjukkan sikapnya terhadap Gibran. Di mana putra sulung Jokowi itu belum memenuhi syarat sebagai kader partai selama tiga tahun.
"Di sinilah tantangan partai sebagai institusi demokrasi, apakah dia akan tunduk pada program organisasi, apakah ada pertimbangan yang sifatnya pragmatis," ujar Titi.