REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Ashraf Ghani berpeluang mempertahankan posisinya sebagai presiden Afghanistan hingga lima tahun ke depan. Dia berhasil meraih 50,64 persen suara pada pemilu presiden (pilpres) yang digelar 28 September lalu.
Dalam pengumumannya pada Ahad (22/12), Komisi Pemilu Independen Afghanistan mengungkapkan, terdapat 1,9 juta penduduk yang berpartisipasi pada pilpres September lalu. Sebanyak 50,64 persen suara diberikan kepada Ghani.
Di posisi kedua menyusul kompetitor utama Ghani, yakni Ghani Abdullah Abdullah dengan 39,52 persen suara. Sementara, mantan perdana menteri Afghanistan Gulbuddin Hekmatyar hanya memperoleh 3,85 persen suara.
"Kami telah menyelesaikan tugas kami secara bertanggung jawab dan jujur," ujar Ketua Komisi Pemilu Independen Afghanistan Hawa Alam Nuristani dalam konferensi pers di Kabul, dikutip laman Aljazirah.
Namun, Nuristani mengatakan bahwa hasil tersebut masih dapat berubah setelah penghitungan final. Pengumuman hasil pilpres memang molor dari jadwal yang telah ditentukan, yakni pada 19 Oktober lalu.
Juru bicara Komisi Pemilu Independen Afghanistan Zabih Sadaat mengungkap terdapat beberapa alasan mengapa pengumuman hasil pilpres tertunda cukup lama. "Alasan utama adalah partai-partai oposisi yang melakukan aksi duduk dan protes di luar kantor kami di tujuh provonsi. Kami tidak dapat melakukan pekerjaan kami," ucapnya.
Kubu Abdullah telah menolak hasil pilpres yang baru saja diumumkan. Mereka mengklaim terdapat kecurangan dalam proses pilpres dan tidak akan menerima hasil penghitungan yang diumumkan Komisi Pemilu Independen.
"Kami ingin memperjelas sekali lagi kepada rakyat kami, pendukung, komisi pemilihan, dan sekutu internasional kami bahwa tim kami tidak akan menerima hasil pemungutan suara curang ini, kecuali tuntutan sah kami ditangani," kata tim Abdullah dalam sebuah pernyataan.
Hasil pilpres Afghanistan diumumkan di tengah berlangsungnya perundingan damai antara kelompok Taliban dan Amerika Serikat (AS). Pemerintah Afghanistan yang saat ini dipimpin Ghani memang tak dilibatkan dalam pembicaraan. Alasannya karena Taliban menganggap pemerintahan sekarang merupakan boneka Washington.
Pada September lalu, Ghani sempat menyatakan ingin mengambil alih proses negosiasi dengan Taliban. Hal itu dia sampaikan setelah membaca draf kesepakatan yang nyaris tercapai antara AS dan Taliban. Menurutnya, poin-poin kesepakatan itu terlalu menguntungkan, bahkan terkesan menyerah, pada Taliban.
Sejak tahun lalu, AS telah menjalin negosiasi dengan Taliban. Permasalahan utama yang mereka bicarakan adalah tentang penarikan 14 ribu pasukan AS dari Afghanistan. Militer AS diketahui merupakan sekutu utama Pemerintah Afghanistan dalam memerangi Taliban.
Selain melatih para tentara Afghanistan, militer AS kerap melakukan serangan udara ke basis-basis kekuasaan Taliban. Militer AS telah berada di sana selama sekitar 18 tahun.