Senin 23 Dec 2019 08:44 WIB

A.H. Nasution, Jenderal Kebanggaan Indonesia dan Dunia

Buku strategi militer Jenderal A.H. Nasution menjadikan pemikirannya disegani.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Indira Rezkisari
Pengunjung melihat diorama Jenderal AH Nasution di Museum Jenderal Besar AH Nasution, Jakarta, Senin (30/9/2019). Museum yang awalnya merupakan rumah Jenderal AH Nasution itu merupakan saksi bisu peristiwa G 30 S/PKI yang menewaskan putri Nasution Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu Pierre Tendean.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Pengunjung melihat diorama Jenderal AH Nasution di Museum Jenderal Besar AH Nasution, Jakarta, Senin (30/9/2019). Museum yang awalnya merupakan rumah Jenderal AH Nasution itu merupakan saksi bisu peristiwa G 30 S/PKI yang menewaskan putri Nasution Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu Pierre Tendean.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahmad (29 Tahun) merupakan penjual kopi keliling yang biasa mengitari jalanan ibu kota. Terik panas dan jauhnya jalan yang ditempuh, terkadang tak membuatnya memperhatikan berbagai bangunan di jalan.

Bahkan ketika ditemui Republika.co.id di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, ia tak mengetahui ada rumah jenderal bintang lima yang dijadikan museum bersejarah. “Waduh, saya nggak tahu,” ujar pria asli Jakarta Timur itu ketika ditemui, Jumat (20/12).

Dari luar memang terlihat patung sekitar dua meter yang berdiri gagah. Namun demikian, Ahmad tak begitu memperhatikannya. Apalagi berminat untuk memasuki bangunan yang tak memungut biaya itu.

Tentu saja Ahmad tak berminat, pasalnya bangunan tua yang beralamat di Jalan Teuku Umar No 40, Menteng, Jakarta Pusat itu tak seperti biasanya pada Jumat (20/12). Saat itu banyak mobil hijau yang mentereng dengan lambang bintang berkumpul sepanjang jalan itu.

“Mungkin lain kali bakal ke sana hehe,” candanya.

photo
Petugas membersihkan makam Jenderal Besar TNI AH Nasution menjelang peringatan Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Sabtu (9/11/2019).

Jumat lalu digelar acara mengenang 101 tahun kelahiran Jenderal Besar A.H Nasution. Tamu yang masuk hanya undangan. Di antaranya ketua umum Golkar Akbar Tandjung, dua mantan Panglima TNI, keluarga besar A.H. Nasution, dan lainnya.

Suasana rumah yang asri tampak dari luar. Namun, ketika memasuki pelataran rumah, perasaan masa lalu cukup kentara dan tergambarkan oleh diorama pasukan Tjakrabirawa yang berjejer dan menyerang keluarga A.H. Nasution.

Salah satunya menunjukkan putri sang Jenderal, Ade Irma yang terenggut nyawanya ketika mengendap di luar kamar A.H. Nasution. Kondisi dalam ruangan terkesan cukup sempit, apalagi dengan banyaknya diorama pasukan dan penghuni rumah sendiri.

Bergeser ke ruang makan, diorama pasukan terlihat kembali sedang menodong senjata ke Ibu Nas, istri dari jenderal yang sedang menggendong Ade Irma sambil berlumuran darah. Bahkan, lubang bekas tembakan juga cukup kentara di sana, apalagi dengan tanda khusus yang menunjukkannya.

Dari seluruh diorama, termasuk diorama Jenderal Nasution yang melompati tembok, hingga berbagai lukisan ataupun kisah penodongan dan penembakan ajudannya, Kapten Tendean, seakan membawa pengunjung kembali pada masa lalu kelam yang dialami pahlawan besar itu.

Museum A.H. Nasution baru diresmikan pada 3 Desember 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peresmiannya bertepatan hari kelahiran sang Jenderal.

photo
Pengunjung melihat diorama putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma Suryani yang tertembak di Museum Jenderal Besar AH Nasution, Jakarta, Senin (30/9/2019).

101 Tahun A.H. Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, tidak hanya dikenal sebagai nama jalan protokol di beberapa wilayah. Pria yang lahir di Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatra Utara pada 3 Desember 1918 itu juga telah membuahkan 80 judul buku militer dan banyak karya tulis lain selama hidupnya.

Dalam prosesnya, buku berjudul “Pokok-Pokok Gerilya” menjadi karyanya yang paling populer di kancah militer dan dunia. Terlebih ketika diterjemahkan ke bahasa Inggris "Strategy of Guerilla Warfare".

Buku tersebut menjadi pedoman di berbagai belahan dunia. Bahkan, pemikiran yang tertuang dalam buku tersebut, dinilai menjadi faktor kunci kemenangan Viet Cong (VC) yang ditandai dengan berakhirnya perang Vietnam dan kekalahan telak pasukan AS di Vietnam.

Berakhirnya perang Vietnam memuat buku Pak Nas (sapaan akrab Jenderal Besar A.H. Nasution) menjadi rujukan di berbagai belahan dunia.

“Buku itu bukan hanya bahan di militer kita saja, tapi juga menjadi rujukan penting di sekolah militer AS (West Point) dan negara lainnya,” kata mantan Panglima TNI, Jenderal TNI (Purn) Endriartono Sutarto, ketika ditemui di Museum A.H. Nasution di Jakarta

Alasan buku menjadi rujukan karena buku karya Pak Nas merupakan buku yang wajib dibaca berbagai kalangan, khususnya militer. Buku Pak Nas mampu membuat prajurit siap untuk bertempur dalam situasi atau lingkungan apapun.

Memiliki jenderal besar seperti A.H. Nasution sangat membanggakan bagi bangsa dan negara. Karena bukan hanya capaian pribadi yang menjadi keunggulannya, tetapi minat, semangat dan cita-cita memperjuangkan bangsa dalam tekadnya, dinilai sebagai kesuksesan dalam bela negara.

“Dengan banyak kontribusinya, Pak Nas bukan hanya milik Indonesia. Tetapi sudah menjadi milik dunia,” katanya.

Senada dengan Sutarto, mantan Panglima TNI 2007-2010 Jenderal TNI Djoko Santoso juga berpendapat sama. Namun  ia memilih untuk menyebut Pak Nas prajurit yang beruntung karena menghadapi perang besar dan menjadi salah satu dari tiga jenderal besar Indonesia yang mendapat bintang lima.

“Kita tentara 70-an hingga 90-an kurang beruntung. Karena bintang lima yang didapatkan Pak Nas adalah sebab dari memimpin perang besar. Tidak seperti kita yang masih kecil-kecilan,” katanya.

Tetap saja ia mengakui Pak Nas memiliki kemampuan yang besar, terlebih dari segi kemampuan musyawarah dan pemikir. Oleh sebab itu, menurut dia tak aneh jika Pak Nas dan pahlawan lainnya mampu mengantarkan Indonesia ke gerbang kermerdekaan.

“Giliran kita sekarang yang melanjutkan perjuangan dari depan gerbang untuk meraih cita-cita bangsa,” katanya.

photo
Hendrianti Saharah Nasution, putri sulung Jenderal AH Nasution.

Sasaran G30S

Tapi publik atau masyarakat awam lebih mengenal Jenderal A.H. Nasution melalui peristiwa G30S PKI. Nasution selamat dari gerakan tersebut namun kehilangan ajudannya Kapten Pierre Andries Tendean dan putrinya Ade Irma.

Kehilangan tersebut menimbulkan kesedihan mendalam. Putri sulung Nasution, Hendrianti Saharah Nasution, masih mengingatnya.

“Tapi sayangnya, banyak yang mempertanyakan apakah peristiwa itu betul apa tidak,” ujar Hendrianti, dalam peringatan 101 tahun Jenderal A. H Nasution tersebut.

Dia menyayangkan, dalam konstelasi politik, sejarah kerap kali dibelokkan dan tidak sesuai. Bahkan menurut dia, dari peristiwa penghianatan PKI itu, tidak sedikit yang menjadi korban meninggal atau yang ditinggalkan.

“Saya dapat efek luka dari serangan itu. Jadi kalau ada yang mempertanyakan apakah sejarah itu benar atau tidak, tentu sangat menyakitkan perasaan saya,” katanya.

Dengan alasan tersebut ia tidak mengikuti jejak ayahnya di dunia politik. Sebaliknya, dunia sosial yang ibunya geluti lebih menarik nuraninya untuk membuat rumah sakit bagi mereka yang membutuhkan.

 

Dia menilai generasi muda juga perlu memperjuangkan sejarah dan pendidikan demi kondisi bangsa yang lebih baik. Hal tersebut agar semakin banyak yang bisa melanjutkan perjuangkan ayahnya sebagai salah satu penggagas bangsa.

“Beliau bukan hanya ayah bagi saya, tapi juga guru. Saya bersyukur punya ayah seperti beliau. Terlebih dengan keadilan, kejujuran dan kebenaran yang terus digaungkan oleh sang ayah,” katanya.

Dalam acara mengenang 101 tahun kelahiran Jenderal Besar A.H. Nasution itu ia berterimakasih kepada penyelenggara. Termasuk kepada para pihak yang menjadikan rumah tersebut sebagai museum untuk mengenang sang ayah.

“Awalnya keluarga hanya berencana untuk syukuran dengan anak yatim piatu. Tapi dengan adanya acara seperti ini kami bersyukur dan berterimakasih. Semoga semangat ayah bisa terwariskan ke generasi muda,” katanya.

Ia juga mengucapkan rasa senangnya karena ada edisi khusus ayahnya yang diterbitkan oleh sebuah majalah, bersamaan dengan peluncuran prangko edisi ayahnya di acara tersebut oleh PT Pos Indonesia.

photo
Pengunjung melihat diorama tentara Tjakrabirawa yang mendobrak paksa pintu kamar Jenderal AH Nasution di Museum Jenderal Besar AH Nasution, Jakarta, Senin (30/9/2019).

Anggapan Salah

Sedikit yang mengetahui bahwa Dwi Fungsi bukanlah gagasan dari A.H. Nasution. “Jangan tersinggung, banyak di sini yang masih beranggapan bahwa Dwi Fungsi adalah gagasan Jenderal A.H Nasution. Dwi Fungsi adalah pemikiran Bung Karno,” kata pengamat militer Salim Said.

Sambung dia, Bung karno yang kala itu juga menjabat sebagai Ketua Dewan Nasional memiliki banyak bidang di dalamnya, salah satunya adalah angkatan bersenjata. Menurut dosen di instansi militer itu, angkatan bersenjata yang dimaksud adalah, orang yang bekerja dengan memakai senjata. Yaitu polisi atau tentara bahkan hansip.

Dia melanjutkan, Dwi Fungsi pada prosesnya berlanjut pada Gestapu (nama lain G30S). Bahkan, ada anggapan bahwa awal kudeta berasal dari pihak militer.

“Padahal itu salah. Bukan kudeta merangkak, tetapi power struggle. Satu lagi yang salah, karena A.H. Nasution sudah bintang lima, beliau bukan purnawirawan, karena ia tidak pensiun dan sudah bintang lima, dan selamanya tidak akan menjadi purnawirawan,” ungkap dia.

Hal serupa juga dikatakan oleh mantan ketua umum Partai Golkar, Akbar Tandjung. Menurut dia, peristiwa politik pada tahun 1965, sebenarnya diawali sejak 1945. Saat itu, ada empat partai yang menjadi suara mayoritas.

“Dan salah satunya adalah PKI, selain dari Masyumi, NU dan militer,” katanya.

Pada pemilihan pertama di Tahun 55 itu, PKI mendapat 39 kursi di DPR. Meski menjadi minoritas, nyatanya PKI mempunyai landasan yang kuat. Namun karena perbedaan ideologi yang kentara saat itu menimbulkan banyak friksi di dalam pemerintahan Bung Karno.

Ideologi yang dianut oleh PKI itu tidak sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila. “Namun ada kedekatan antara PKI dengan Soekarno, bahkan ada upaya untuk menggeser ideologi bangsa. Tapi karena upaya A.H. Nasution, Indonesia kembali pada UU 45,” ungkap dia.

Dia menilai, pada tahun 1966 ketika ia masih menjadi aktivis untuk menuntut pengusutan PKI, Jenderal A.H. Nasution menjadi salah satu tokoh yang diminta sarannya. “Oleh sebab itu, kami merindukan beliau,” ungkap dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement