REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berniat memperluas peremajaan kelapa sawit. Langkah ini ditempuh demi meningkatkan produksi minyak sawit mentah (CPO) menjadi 7-8 ton per hektare per tahun, dari capaian saat ini sekitar 4 ton.
Peningkatan produksi CPO dibutuhkan demi mencukupi pasokan FAME untuk dicampurkan dengan solar (biodiesel). Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan, peremajaan kepala sawit diharapkan bisa menyentuh 500 ribu hektare lahan pada 2023 mendatang.
Peremajaan kelapa sawit memang menjadi opsi paling ampuh untuk meningkatkan produksi CPO, setelah pemerintah memutuskan memoratorium pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. "Negara lain bisa kok mencapai 7-8 ton, kenapa kita tidak? Karena penggunaan bibit sawit yang berkualitas baik. Ini proses yang sudah kita kerjakan dalam dua tahun ini meremajakan kebun sawit rakyat. Ini akan kita teruskan," kata Jokowi.
Menurut presiden, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyiapkan dana hingga Rp 20 triliun untuk peremajaan kelapa sawit. Jokowi juga berpendapat, penggunaan FAME dari produk turunan sawit untuk dicampurkan dengan solar mampu meningkatkan ketergantungan petani sawit terhadap ekspor.
Ekspor CPO dari Indonesia memang terancam aturan yang diterbitkan Uni Eropa terkait larangan masuknya produk sawit dan turunannya dari Indonesia. "Justru ini, menjadikan kita lebih mandiri. Tidak tergantung pada pasar ekspor, tidak bergantung pada negara lain yang ingin beli CPO kita. Kamu ngga beli apa-apa, saya pakai sendiri," katanya.
Sebelumnya, presiden juga meluncurkan produk biodiesel B30, yakni bahan bakar campuran antara solar dengan olahan minyak sawit 30 persen. Peluncuran ini maju dari target awalnya, Januari 2020.
Setelah diluncurkan di Jakarta pada Senin (23/12), secara bertahap PT Pertamina (persero) akan mendistribusikan secara nasional. Soal harga, biodiesel B30 disamakan dengan harga solar biasa.
Presiden Jokowi menyampaikan, penggunaan biodiesel B30 bisa menghemat devisa hingga 4,8 miliar dolar AS atau Rp 63 triliun. Hal ini diyakini bisa menjadi salah satu solusi atas defisit neraca berjalan (CAD) yang masih saja membayangi Indonesia hingga akhir 2019 ini.