Senin 23 Dec 2019 16:46 WIB

Rusia Diminta Tekan Myanmar untuk Repatriasi Rohingya

Bangladesh menilai Rusia bisa menekan Myanmar untuk repatriasi Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Puluhan ribu pengungsi Rohingya memperingati tahun kedua peristiwa genosida Myanmar yang menyebabkan eksodus mereka di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, Ahad (25/8).
Foto: Rafiqur Rahman/Reuters
Puluhan ribu pengungsi Rohingya memperingati tahun kedua peristiwa genosida Myanmar yang menyebabkan eksodus mereka di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, Ahad (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pemerintah Bangladesh meminta Rusia memberi tekanan kepada Myanmar untuk merepatriasi orang-orang Rohingya yang saat ini tinggal di kamp-kamp di Cox's Bazar. Moskow dinilai memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut.

"Kami tahu Federasi Rusia memiliki banyak pengaruh terhadap Myanmar," kata Menteri Luar Negeri Bangladesh Dr AK Abdul Momen saat berpidato dalam acara 5th Asian Conference of Soviet/Russian Graduates pada Senin (23/12), dikutip laman the Daily Star.

Baca Juga

Momen meminta Rusia dan rekan-rekannya meningkatkan upaya agar pengungsi Rohingya di Bangladesh dapat pulang atau kembali ke rumahnya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Duta Besar Rusia untuk Bangladesh Alexander I Ignatov turut menghadiri acara tersebut.

Awal November lalu Gambia, mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah membawa kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.

Gambia menilai Myanmar telah melanggar Kovensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut. Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tapi menggugat negara lain sebelum ICJ.

Persidangan pertama kasus dugaan genosida Rohingya telah digelar selama tiga hari pada 10-12 Desember lalu. Saat ini dunia tengah menunggu putusan apa yang akan diambil panel hakim ICJ terkait kasus tersebut.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.

Pada Agustus 2018, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement