Senin 23 Dec 2019 19:40 WIB

Setahun Tsunami Pandeglang, Korban Masih Nelangsa di Huntara

Ratusan korban tsunami Pandeglang hingga kini masih dalam kondisi memprihatinkan.

Kondisi hunian sementara (huntara) Kaliri (56 tahun) Salah seorang korban bencana tsunami Selat Sunda yang mengungsi di Labuan, Pandeglang, Banten, Ahad (22/12). Kaliri tinggal bersama sembilan orang anaknya di ruangan yang hanya seluas 3x6 meter.
Foto: Republika/Alkhaledi Kurnialam
Kondisi hunian sementara (huntara) Kaliri (56 tahun) Salah seorang korban bencana tsunami Selat Sunda yang mengungsi di Labuan, Pandeglang, Banten, Ahad (22/12). Kaliri tinggal bersama sembilan orang anaknya di ruangan yang hanya seluas 3x6 meter.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Alkhaledi Kurnialam

Seorang korban tsunami Pandeglang, Kaliri (56 tahun), mengaku bahwa momen bencana sekitar setahun lalu adalah saat yang paling menakutkan dalam hidupnya. Ayah dari delapan anak ini mengingat betul saat-saat dirinya terhempas air laut sambil menggendong bayinya yang saat itu masih berusia empat bulan.

Baca Juga

Akibat bencana tersebut, semua harta bendanya raib, rumahnya hacur, seorang anaknya harus dijahit enam jahitan, dan istrinya sepuluh jahitan akibat luka yang diderita dalam insiden tersebut. Beruntung semua anggota keluarganya selamat dan tinggal mengungsi di Hunian Sementara (Huntara) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Setahun bencana besar ini berselang, ternyata kondisi dirinya dan para korban terdampak tsunami belum juga pulih. Ia bersama ratusan korban lain yang masih tinggal di huntara dalam kondisi memprihatinkan.

Kaliri sebagai salah seorang korban tsunami mengeluhkan fasilitas huntara yang sempit dan tidak bisa menampung keseluruhan anggota keluarganya. Dalam ruangan huntara yang berukuran 3x6 meter itu, ia bersama sembilan anggota keluarga yang lain harus tinggal berdesakkan.

"Anak saya delapan, empat Balita, tiga sekolah satu udah kerja, terus ditambah saya sama istri jadi semuanya sepuluh. Kalau dibilang sumpek ya jelas, tapi kita terima aja, bersyukur saja ya namanya manusia diuji, mau bagaimana lagi kan adanya cuma ini. Rumah hancur, barang-barang habis karena tsunami," kata Kaliri, Senin (23/12).

photo
Kondisi hunian sementara (huntara) Kaliri (56 tahun) Salah seorang korban bencana tsunami Selat Sunda yang mengungsi di Labuan, Pandeglang, Banten, Ahad (22/12). Kaliri tinggal bersama sembilan orang anaknya di ruangan yang hanya seluas 3x6 meter.

Untuk mengatasi kepadatan di tempat tinggalnya, terkadang anak-anaknya harus bergantian menumpang tidur di hunian sanak keluarganya yang juga menjadi pengungsi. Namun, saat ini dua anaknya disekolahkan di lembaga pendidikan pesantren dan anak sulungnya sudah bekerja.

"Dua anak saya sekolahkan di pesantren, jadi nginap di pondok mereka. Tapi, seminggu sekali biasanya mereka pulang. Jadi, kalau lagi penuh itu mereka nginep di rumah bibinya," katanya.

Bangunan huntara yang beratapkan baja ringan tersebut dinilainya tidak layak jika ditempati seluruh keluarganya. "Lucu sebenarnya di sini itu. Kalau hujan atap itu nyaring banget berisik, sementara kita punya balita ya. Kalau lagi tengah hari panasnya lumayan," katanya.

Jauhnya lokasi Huntara dengan tempat keramaian atau tempat strategis juga dikeluhkannya. Kaliri mencontohkan, kondisi anaknya yang saat ini bersekolah di tingkat dasar harus memakai jasa ojek motor untuk pergi ke sekoah, sementara kondisi keuangannya saat ini masih belum menentu.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kaliri mengaku mengandalkan penghasilannya sebagai anak buah kapal (ABK) meski penghasilannya tidak menentu. Namun, dua bulan terakhir ia membuka warung kelontong kecil di kamar huntaranya untuk membiayai kebutuhan keluarganya.

"Dua bulan kemarin itu dapat bantuan jaminan hidup (jadup), daripada habis, saya pakai buat modal bikin warung kecil-kecilan. Lumayanlah ada pemasukan sedikit-sedikit mah," tuturnya.

Ia berharap agar pemerintah segera menyediakan hunian tetap (huntap) bagi dirinya dan 130 pengungsi lain di Huntara Labuan. Tempatnya yang jauh dengan lokasi mereka mengais rezeki dan padatnya pemukiman di huntara membuat para pengungsi tidak betah.

"Kita mau usaha tapi tempat huntara ini jauh kalau buat usaha, sementara 80 persen pengungsi di sini itu mata pencahariannya nelayan dan kapalnya hacur semua karena tsunami. Kalau huntap kan katanya lebih luas rumahnya ada dua kamar juga jadi nggak padat kayak gini," katanya.

Sementara salah seorang pengungsi lain di Huntara Labuan, Maryanah (44 tahun), juga meminta pemerintah untuk segera memindahkan keluarganya dan para pengungsi lain di Huntara Labuan. Ukuran huntara dikeluhkan sangat sempit ditambah lokasinya yang jauh dengan keramaian membuat mereka kesulitan untuk mengais nafkah.

"Pengennya cepat bisa dipindahkan ke huntap, paling terasa itu di sini jauh sama pantai kalau buat usaha. Sebelum tsunami itu saya bisa dagang makanan pepes ke pengunjung pantai, sekarang mah enggak bisa, cuman ngandelin penghasilan suami saja yang kerja di laut. Suami juga kadang dapat kadang enggak," kata Maryanah yang merupakan istri ketua RT Huntara Labuan.

photo
Kondisi tempat MCK para korban tsunami Selat Sunda di hunian sementara (huntara) Labuan, Pandeglang, Banten, Ahad (22/12). Pengungsi mengeluhkan sejumlah fasilitas MCK yang sudah rusak hingga jumlahnya yang sediki

Masalah nafkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari disebutnya jari masalah terbesar yang mendera dirinya dan 130 pengungsi lain di Huntara Labuan. Pasalnya, saat ini tidak ada lagi bantuan yang disalurkan pemerintah kepada para pengungsi, sementara penghasilan mereka hingga kini belum menentu.

"Habis semua kan yang kita punya waktu tsunami itu, enggak ada sisa. Cuma pakaian yang nempel di badan saja. Padahal masih ada anak yang harus sekolahin, anak yang paling gede juga sekarang enggak lanjut sekolah SMA lagi karena enggak ada biaya buat ongkosnya, apalah," ujarnya.

Kabid Rehabilitasi dan Konstruksi, Badan Pennggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banten Entis Basari Ilyas mengatakan, pembangunan huntap diperkirakan akan dimulai pada pada tahun depan. Hal ini karena pencairan dana hibah dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru akan turun pada akhir Desember ini.

"Saat ini sedang menunggu pencairan dari Kementerian Keuangan ke Kabupaten Pandeglang. Beberapa waktu lalu kita baru saja menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) untuk pembangunan Huntap. Bupati Pandeglang juga sudah menandatangani surat kesediaan menerima hibah. Kemungkinan turun dananya akhir Desember ini," kata Entis.

Untuk membangun huntap bagi korban tsunami, ia menyebut bahwa dana yang diberikan kepada Kabuoaten Pandeglang sebesar Rp 64 miliar. Dana ini nantinya akan dipakai untuk membangun Huntap di Delapan lokasi.

"Lahannya kan yang menangani itu Perkim ya, tapi saya dengar sudah hampir selesai untuk pembebasannya. Nantinya, huntap akan dibangun di Labuan sebanyak Lima di Kecamata Sumur, selebihnya di Panimbang, Labuan dan Carita," tuturnya.

Entis meminta para pengungsi korban tsunami untuk sabar menunggu proses pembangunan Huntap ini selesai. Ia mengklaim pemerintah sudah mengupayakan secara maksimal untuk mempercepat pembangunan hunian tetap bagi pengungsi.

"Kita sudah upayakan maksimal, saya imbau kepada korban untuk menunggu. Saya perkirakan bulan Januari atau Februari itu sudah proses sudah tahap perencanaan pembangunan dari mulai kajian sampai lelang," tuturnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement