REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel menentang perjanjian batas maritim di Mediterania timur antara Libya dan Turki yang diteken pada November. Namun perjanjian tersebut tampaknya tidak berujung konflik dengan Turki, menurut menteri luar negeri Israel, Senin (23/12).
Perjanjian Ankara dan Tripoli yang membuat koridor batas maritim antara kedua negara berpotensi membuka jalan bagi eksplorasi minyak dan gas di lokasi tersebut. Yunani, yang merupakan sekutu dekat Israel dan terlibat perselisihan dengan Turki atas sejumlah isu, menyebut perjanjian itu absurd sebab mereka mengabaikan kehadiran pulau Kreta Yunani di antara pantai Turki dan Libya.
Pemerintah Israel sebelumnya tidak memberikan pernyataan soal perjanjian tersebut meski Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akan bertolak ke Yunani pekan depan. Kedatangan Netanyahu bertujuan mematangkan rencana dengan Yunani dan Siprus atas pembangunan pipa bawah laut yang nantinya akan mengekspor gas dari Israel ke Eropa.
Nikosia mengatakan Netanyahu telah berbicara kepada presiden Siprus Jumat lalu bahwa perjanjian maritim dikecam 'ilegal'. "Ini posisi resmi Israel. Namun bukan berarti kami mengirim kapal perang untuk menghadapi Turki," kata Menteri Luar Negeri Israel Katz saat ditanya untuk mengonfirmasi laporan Siprus.
Katz melalui wawancara dengan Channel 13 Israel mengatakan bahwa saat Presiden Turki President Tayyip Erdogan menjadi lawan, ia tidak berpikir Israel maupun anggota NATO Turki sedang mencari konflik. "Kami tak mempunyai keinginan, dan Turki pun sama, tak memiliki keinginan untuk konfrontasi dengan Israel," katanya.