REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Defisit kebutuhan daging sapi pada 2020 diperkirakan melebar menjadi 294.617 ton dari defisit tahun ini sebesar 281.681 ton. Pelebaran defisit itu terpaksa menambah kuota impor daging sapi dan kerbau tahun depan.
Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menilai, kondisi tersebut membuat target swasembada daging pada 2026 mendatang makin sulit untuk dicapai. Ketua Umum PPSKI Teguh Boediyana mengatakan, sejak awal pemerintah pertama Joko Widodo, PPSKI sudah memperkirakan bahwa program swasembada daging dengan berbagai program yang ditempuh pemerintah tidak akan memberikan dampak signifikan.
"Prognosis defisit yang sudah sampai di atas 290 ribu ton itu mengindikasikan bahwa kekurangan daging akan meningkat terus. Saya tidak yakin target swasembada daging sapi 2026 tercapai," kata Teguh saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (24/12).
Ia menjelaskan, konsumsi daging sapi pasti akan terus meningkat seiring penambahan jumlah populasi penduduk, meningkatnya daya beli, serta kenaikan pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan produksi daging sapi lokal dari tahun ke tahun tetap hanya sekitar 4 persen. Angka pertumbuhan itu, kata Teguh, konsisten sejak era Orde Baru.
Pernyaataan tersebut terlihat dari prognosis dari produksi daging sapi tahun 2020 sebesar 422.533 ton atau hanya naik 4,4 persen dari target produksi 2019 sebesar 404.590 ton. Sementara, pertumbuhan konsumsi naik 4,5 persen dari 688.271 ton menjadi 717.150 ton.
"Dari dulu sampai sekarang, mau pakai program SIWAB (Sapi Indukan Wajib Indukan) kenaikan populasi ya sekitar itu saja," katanya.
Di satu sisi, PPSKI melihat adanya penurunan minat masyarakat Indonesia untuk menjadi peternak. Saat ini, mayoritas peternak yang tersisa merupakan generasi tua dengan kepemilikan sapi rata-rata 2-3 ekor per peternak.
Usaha itu tidak memberikan hasil yang maksimal di tengah semakin banyaknya impor daging, terutama dari India. Usaha yang kurang menguntungkan itu alhasil dipandang sebelah mata oleh sebagian generasi muda.
Karena itu, Teguh menilai pemerintah saat ini harus segera mendesain ulang rencana program swasembada daging sapi yang lebih realistis, tetapi terarah. Teguh mengatakan, niatan pemerintah untuk menuju swasembada daging sapi sudah tepat, tetapi caranya belum sesuai dengan kondisi riil.
Diketahui, akibat adanya pelebaran defisit daging sapi di tahun depan, kebutuhan untuk mengimpor daging sapi dan kerbau ikut bertambah. Tahun 2019, impor daging sapi dan kerbau dialokasikan sebesar 291.980 ton sedangkan tahun 2020 kuota impor dinaikkan menjadi 300.000 ton.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Syamsul Ma'arif menjelaskan pelebaran defisit salah satunya disebabkan belum mampunya pengusaha lokal maupun peternak rakyat untuk mengikuti kebutuhan industri hotel, restoran, dan katering (horeka). Berbicara mengenai kebutuhan industri horeka, ia mengakui, pemenuhannya tidak bisa dilakukan secara asal.
Sementara kemampuan peningkatan produksi dalam negeri belum bisa dipacu mengimbangi kebutuhan, maka pemerintah harus menambah impor. Ia mengatakan, impor daging itu pun mayoritas diperuntukkan bagi industri.
"Kebutuhan ini menyangkut industri horeka. Manajemen mereka itu kan tidak bisa asal-asalan karena mereka harus memenuhi kebutuhan konsumennya," kata Syamsul.
Saat ini, baru beberapa industri horeka yang membuka pintu bagi daging sapi lokal, namun jumlahnya belum banyak. Kendati demikian, Syamsul menegaskan bahwa pemerintah terus melakukan pembinaan peternak lewat program-program yang ada. Sosialisasi kepada para pengelola Rumah Potong Hewan dan distributor juga dilakukan.